PEMILIHAN KEPALA DAERAH akan kembali digelar di Kota Makassar 2020 mendatang. Ini adalah pilkada ke dua setelah sebelumnya, 2018 lalu, Kotak kosong memenangkan pertarungan melawan Pasangan Appi-Cicu dan 10 partai pendukungnya.
Kemenangan kotak kosong merupakan sejarah baru dalam politik Indonesia. Belum pernah sebelumnya seorang calon tunggal kalah dalam pemilu.
Lahirnya pasangan Appi-Cicu sebagai calon tunggal dimulai dari kandasnya petahana Danny Pomanto mendapatkan dukungan Partai. Sepuluh partai diborong oleh Appi untuk mengantarnya menuju kursi Walikota Makassar. Danny tidak patah arang, ia terus maju melalui jalur independen. Namun naas, ia tak dapat bertarung setelah didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung akibat dugaan money politic.
Didiskualifikasinya Danny tidak membuat jalan Appi mulus begitu saja. Pada pemilu 2018 itu, ia kalah dari kotak kosong. Walaupun sempat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun ditolak karena selisih antara kotak kosong dan Appi-Cicu terlampau jauh, yakni 36.550 suara. Sementara, batas selisih yang dapat disengketakan tidak lebih dari 2.825 suara. 0,5 persen dari suara sah.
Kemenangan kotak kosong tak lepas dari pengaruh Danny Pomanto dan simpatisannya. Dari penjelasan Direktur Eksekutif Syaiful Mujani Research and Consuliting (SMRC) Djayadi Hanan, sebagaimana diberitakan medcom.id menilai, kemenangan kotak kosong bukan hanya karena masyarakat menolak calon tunggal, Ia juga menduga bahwa ini bagian dari kegelisahan masyarakat akibat pasangan petahana didiskualifikasi.
Sementara itu analisis berbeda datang dari pakar pemilu Australia, Kevin Evans. Ia berpendapat bahwa hasil pemilukada Makassar tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap pemilihan yang selama ini selalu diatur oleh elit politik dan ekonomi. Ini juga diartikan sebagai sinyal berakhirnya oligarki politik yang selama ini menguasai Sulawesi selatan. Seperti diketahui, Appi adalah kerabat dekat dari Aksa Mahmud dan Jusuf Kalla, dua orang yang memiliki perusahaan besar di Sul-Sel, Bosowa group dan Kalla group.
Kedua penjelasan ini memiliki landasannya masing-masing. Pastinya, Makassar telah memilih untuk tidak dipimpin pada pemilihan sebelumnya. Kini pemilihan akan berbeda, melihat ramainya bursa calon Walikota-Wakil walikota Makassar, Kotak kosong kemungkinan tidak bakal hadir. Tak ada pilihan untuk tidak memilih, yang tidak memilih dihitung tidak berpartisipasi (golput).
Demokrasi sebagai suatu sistem politik didasarkan pada pemahaman bahwa dalam suatu komunitas politik masyarakat memilih pemimpin/pemerintah untuk melayani kepentingannya. Maka seorang pemimpin dipilih karena kapasitasnya dianggap mampu melayani kepentingan komunitas politik yang dipimpinnya. Pergantian kekuasaan tidak lagi berdasarkan darah atau kekuatan militer, namun dipilih bergantian diantara orang-orang terbaik dalam komunitas tersebut.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Aristoteles dalam bukunya Politia. Ia menulis “orang akan bergantian melayani sebagai penguasa, dan sekali lagi, orang lain akan memperhatikan kepentingannya, sama seperti dia, ketika ia memimpin, memperhatikan kepentingan mereka”.
Gambaran ideal tentang demokrasi tersebut dalam praktiknya tidak selalu demikian. Hal ini karena demokrasi yang ideal membutuhkan kesadaran politik yang kuat dari masyarakat sebagai pemilik kedaulatan yang memberikan legitimasi kekuasaan kepada pemimpinnya.
Ward Berenschot, dalam penelitiannya bersama Edward Aspinall yang dimuat dalam buku Democracy For Sale, menemukan bahwha demokrasi di indonesia lekat dengan apa yang ia sebut klientelisme, yakni proses transaksi politik yang terjadi pada ranah informal. Praktek tranksaksi politik ini mewujud dalam broker-broker politik, tim sukses, pembagian jabatan ataupun kontrak proyek pemerintah.
Tingginya tranksaksi politik berimplikasi pada tingginya ongkos politik di Indonesia. Ini membuat pemimpin bukannya dipilih dari orang-orang terbaik pada suatu komunitas tertentu, melainkan orang-orang yang memiliki (atau dapat mengumpulkan) ongkos politik.
Kini kesadaran politik masyarakat Makassar kembali diuji. Apakah proses pemilukada akan memunculkan pemimpin yang dapat melayani kepentingan masyarakat, atau pemimpin hasil tranksaksi politik yang akan melayani kepentingan kelompok atau golongan tertentu, sebagaimana pada pemilukada 2018 lalu?