JELANG PETANG, segerombol mahasiswa tengah kumpul. Pekikan tawa dan teriakan terdengar. Meski berjarak puluhan meter, suara itu cukup mengganggu. Amat bising.
Momen itu, nyaris ada saban tahun. Biasanya, jelang tahun ajaran baru.
Beberapa waktu kemudian, mereka membentuk formasi. Berbaris di anak tangga pelataran aula kampus sampai tiga saf. Saya tahu, mereka bakal foto bareng. Dari depan, susunan ini serupa foto Presiden dan para kabinetnya di depan istana.
Satu. Dua. Tiga. Cekrek. Tiap rona kamera bunyi, teriakan mereka juga ikut bunyi. Senang, berseri-seri, begitu mimik wajah mereka dari kejauhan.
“Sudah…” kata seorang mahasiswi dengan nafas leganya, menghampiri kawannya lalu berpelukan. Pelukannya mungkin jadi kali terakhir yang paling hangat ke seorang sahabat. Sebab, beberapa hari kemudian, dia resmi jadi alumni.
Ribut dan foto bareng usai. Resepsi tadi ditutup dengan pemberian kado dari seorang kawan. Kadonya bisa berbagai bentuk, boneka, ilustrasi wajah, bunga, cokelat, buku, tas, dan sepatu. Pokoknya macam rupa.
Namun, sebagian orang menilai, pemberian kado tak ada gunanya. Efrat Syafaat, teman sebangku saya di kantin mengatakan demikian, saat menonton euforia yang di pelataran sana. “Mending, ajak makan saja.”
Efrat hanya salah satunya. Kami lama berdebat. Baginya, tradisi pemberian kado itu irasional dan penuh mudarat, juga menghambur duit. “Padahal, tidak seharusnya dirayakan ini. Karena sebenarnya, ini permulaan dia untuk setengah mati, cari kerja lalu jadi pekerja.”
Karena penasaran, saya menghubungi seorang kawan. Beberapa hari ke depan, dia bakal melewati sidang skripsi, Nurul Ulfa namanya. Kali ini, giliran dia yang diberi kado.
“Takut ku ‘dibantai’ penguji,” kata Ulfa lewat WhatsApp.
“Takut kalau tidak bisa jawab apa yang ditanyakan penguji.”
Mahasiswi program studi Komunikasi ini bilang, pemberian kado bukan soalan rasional atau sebaliknya dan hambur duit atau tidak. Pemberian kado bagi dia melampaui dua hal tadi.
“Senangnya itu pas keluar dari ruangan, lega dan lihat teman-teman mu berkumpul membawa hadiah untuk kau,” menurutnya, “dan memang momennya pas untuk berbagi hadiah sebagai kenang-kenangan. Ndak ditahu nantinya bakal ketemu lagi atau tidak, karena ndak ditahu sampai kapan bisa terus sama-sama.”
Bagi Ulfa, hadiah yang diberikan padanya bisa jadi pengingat akan sahabat masa kampusnya bila mereka jauh berpisah kelak. “Kayak jam atau baju, pasti saya pakai. Jadi ada saatnya pasti saya ingat mereka.”
“Kalau soal stereotip menghambur duit?” tanya saya.
“Kalau pemikiran begitu, ya berarti dia tidak ikhlas. Kalau saya selama kado yang ku hadiahi disuka dan berguna untuk dia ya tidak apa-apa. Mungkin ada sudut pandangnya sendiri.”
Saya kurang puas dengan jawaban Ulfa. Karena itu, saya membuat sedikit pengumuman di Snapgram. Saya tulis, “Siapa yang waktu yudisium, tidak dapat kado dari temannya?” Yang jawab ada dua orang. Laki-laki dan perempuan.
Anca Armansyah, seorang alumni Fakultas Teknik di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Karena tradisi di Fakultasnya yang beda. Alih-alih diberi kado, Anca, selepas sidang skripsi malah tekor. Duitnya habis guna mentraktir kawannya.
“Teman minta dan itu sudah jadi tradisi,” kata dia.
Sementara seorang lainnya adalah, Cindy. Ia tak berharap sebuah kado dari temannya. Sebab, baginya tradisi itu hanya simbolis. “Kalau dapat kado syukur, kalau tidak it’s okay lah.”
“Kenapa simbolis?” tanya saya.
“Menurut ku, (tradisi itu) hanya gaya-gayaan untuk dipamer di sosmed.”
Tradisi pemberian kado ini, tak hanya terjadi di kampus saya, tapi juga di kampus lainnya.
Sekadar Simbol Eksistensi
Tradisi macam ini adalah pendatang baru. Begitulah hasil amatan dari seorang Sosiolog beralmamater Universitas Hasanuddin, Nuvida RAF.
“Saya melihatnya sebagai gaya hidup baru. Ikut-ikutan. Tanda eksis,”
Mengapa baru? Sebab saat dirinya kelar sidang skripsi belasan tahun lampau, tak ada tradisi macam itu. “Biasanya kita diajak makan-makan di kantin.”
Lalu bagaimana tradisi ini bermunculan?
Budaya beri-memberi kado ini sudah berlangsung sejak sebelum masehi (SM). Seorang dosen Sastra Jepang Universitas Bina Nusantara, Roberto Masami Prabowo pernah bahas soal ini (2014).
Dalam penilitiannya, budaya ini berpangkal dari ajaran konfusianisme, agama yang didirikan seorang yang bernama Konfus pada 500 SM.
Ajaran ini sangat sarat akan kehidupan duniawi. Bagaimana menitik beratkan ajarannya pada laku moral dan etika manusia. Ajaran ini yang kelak membawa dampak besar pada kehidupan, struktur sosial, dan filsafat politik bangsa Cina.
Roberto bilang, guanxi (关系) atau beri-memberi kado berguna untuk mempererat hubungan relasi antar keluarga, politikus, institusi sosial, dan urusan bisnis.
“Cara beri-memberi yang umum dilaksanakan apabila penerima hadiah setidaknya bisa membalas kembali hadiah yang kira-kira memiliki nilai yang sama,” kata Roberto dalam Fenomena Pergeseran Budaya Pemberian Hadiah Dalam Tradisi Masyarakat Jepang.
Dalam publikasinya, ia menemukan dua kategori pelaku dalam budaya ini. Pertama, adalah dia yang tak mengharap balas budi atau yang disebut sebagai kategori sukarela. Kedua, sudah jelas siapa, yakni mereka yang memberi kado untuk menanti balas budi.
Ketika seseorang kata Roberto, melakukan pertukaran hadiah, sering kali orang itu mengharapkan pertukaran barang yang seimbang, sebab setiap orang mendambakan suatu hubungan sosial yang adil atau seimbang.
“Hampir setiap orang tidak suka dirugikan oleh orang lain, justru lebih suka mencari keuntungan dari orang lain.”
Seiring perubahan masyarakat agrikultur ke masyarakat yang kapitalistik, tradisi beri-memberi kado ini tak hilang. Kita dengan mudah mendapatkannya dalam sejarah. Seperti peci dan keris yang diserahkan Soekarno ke Che Guavara sebagai buah tangan. Atau yang paling kerap kita jumpa; memberi kado ke seorang yang berulang tahun.
Dalam perkembangannya, tradisi ini melahirkan pasar jasa. Seperti jasa pengemas kado. Paling laris adalah jasa desain atau lukis wajah.
Di era digital saat ini, tradisi memberi kado kepada teman yang berhasil yudisium meluas dengan begitu cepatnya. Nuvida melihat, sosial media menjadi medium, sehingga budaya ini dapat tersebar dan ditiru, meski para pelaku tidak memahami maknanya.
“Ada trendsetter, seperti para selebgram mengunggah gaya ini ke medsos, didukung oleh endorser. Jadi tambah kuat pesannya ke netizen. Apalagi yang melakukan itu selebritis,” kata Nuvida. “Ini seperti pop culture. Yang aktornya para milenial.”
Namun, menurut Nuvida, kebiasaan ini tak ubahnya hanya pemuas hasrat pengakuan para aktor. Kesan narsistik dalam tradisi tersebut dapat dilihat jelas, bila mencermati tradisi yudisium pada jenjang stara satu, dua, dan tiga.
Pada jenjang S1, kesan narsistik sangat kental, karena menurut Nuvida, para aktor lebih mengemasnya sebagai ajang narsis. Foto bareng dengan hiasan kado, lalu mengunggahnya ke media sosial dengan katarir; “Alhamdulillah,”, “Akhirnya,”, dan lain-lain.
“Karena rata-rata (para aktor) belum mapan. Masih dalam tahap membangun. Beda kalau yang S3. S3 biasanya sudah bekerja, mapan, dan perlu menjaga relasi,” kata Nuvida.
Meski mengundang banyak penilaian. Tradisi ini mau tak mau telah hadir di tengah kehidupan sosial. Saya kira, kita lebih mudah menganggap sesuatu adalah abnormal ketika itu jarang dilakukan orang atau golongan tertentu. Saya yakin, semua punya penjelasan yang tak semudah saat kita mengumpat kebiasaan orang lain tanpa tahu bagaimana cara merasionalkannya.