Makassar, AksaraINTimes.id – Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) termasuk daerah rawan kriminalitas di Indonesia. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Statistik Kriminal tahun 2018, Sulsel berada diperingkat lima sebagai provinsi dengan jumlah kasus kriminal (crime total) terbanyak sepanjang tahun 2017.
Kasus kriminalitas tahun tersebut yakni sebanyak 21.616 kasus yang masuk dalam laporan Polda Sulsel. Angka ini terbilang meningkat signifikan dari dua tahun sebelumnya. Pada 2015 angka kriminalitas yang dilaporkan ke Polda Sulsel sebanyak 16.088, kemudian menurun pada 2016 dengan 15.071 kasus.
Perlu diketahui, laporan yang masuk pada rentang 2015-2016 merupakan gabungan laporan dari kepolisian provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), dikarenakan belum terbentuknya Kepolisian Daerah (Polda) di provinsi termuda kedua tersebut. Baru pada tahun 2017, Sulbar membentuk Polda sendiri.
Untuk crime rate, Sulsel hanya turun satu peringkat yakni berada diposisi enam. Crime rate sendiri merupakan jumlah orang yang berisiko terkena tindak kejahatan setiap 100 ribu penduduk. Pada 2017, setiap 100 ribu penduduk Sulsel, terdapat 256 orang yang terkena tindak kejahatan.
Crime rate ini meningkat hampir setengah kali lipat dari dua tahun sebelumnya dengan 166 jumlah orang yang berisiko terkena tindakan kejahatan.
Begitu pun dengan selang waktu terjadinya kejahatan (crime clock) mengalami peningkatan. Pada tahun 2017, setiap 24 detik terjadi tindak kejahatan di Sulsel. Padahal dua tahun sebelumnya, selang waktu tindak kejahatan masih berada di waktu 32 detik pada tahun 2015, dan 34 detik di tahun 2016.
Selang waktu terjadinya kejahatan tertinggi yakni di provisi Sumatera Utara (Sumut) dengan selang waktu 13 detik, dan terendah yakni Provinsi Maluku Utara dengan selang waktu 11 menit 6 detik. Sementara untuk nasional, setiap 1 menit 33 detik terjadi satu tindak kejahatan.
Pencurian dan Penganiayaan Dominasi Kriminalitas
Pada klasifikasi kejahatan, pencurian mendominasi angka kriminalitas tersebut. Pada 2017, dari 21.616 kasus kejahatann yang dilaporkan, sebanyak 9.230 merupakan kasus pencurian. Jumlah ini terbagi menjadi kasus pencurian menggunakan senjata api dan senjata tajam dengan 1.137 kasus, dan kasus pencurian tanpa kekerasan dengan 8.903 kasus.
Untuk kasus pencurian dengan senjata api dan senjata tajam, Sulsel berada di peringkat teratas untuk jenis kejahatan tersebut. Sementara terendah yakni Provinsi Maluku hanya dengan 7 kasus.
Kasus terbanyak kedua yakni kejahatan penganiayaan. Pada tahun 2017, kasus yang dilaporkan ke kepolisian mencapai 5.540 kasus. Penganiayaan ini juga menghitung Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Untuk kasus penganiayaan, Sulsel berada di peringkat kedua tertinggi secara nasional, Sumut tetap berada diperingkat pertama.
Kejahatan penipuan, penggelapan, dan korupsi juga termasuk kasus yang banyak terjadi di Sulsel. Untuk ketiga kejahatan tersebut, pada tahun 2017 terdapat 4.098 kasus yang dilaporkan.
Kasus pembunuhan sendiri yang dilaporkan yakni sebanyak 69 kasus, atau berada di peringkat enam teratas secara nasional. Kasus pembunuhan terbanyak tetap terjadi di Provinsi Sumut dengan 147 kasus. Di Yogyakarta, pada tahun yang sama, hanya tercatat satu kasus pembunuhan atau terkecil di Indonesia.
Banyak Kasus Tak Terselesaikan
Secara nasional, kasus kejahatan ini minim penyelesaian. Untuk tahun 2017, penyelesaian kasus hanya mencapai 62,99 persen. Hal sama juga terjadi di Sulsel, penyelesaian kasus hanya 62,07 persen. Artinya, dari 21.616 kejahatan yang terjadi di Sulsel, kasus yang diselesaikan hanya 13.416 kejahatann. Jumlah penyelesaian ini menurun dari dua tahun sebelumnya, yakni pada 2015 dengan penyelesaian kasus sebanyak 76,23 persen dan 2016 dengan penyelesaian kasus sebanyak 79,21 persen.
Kabid Humas Polda Sulsel, Dicky Sondani yang baru saja diganti pada 22 Oktober 2019 lalu, menilai wajar masih banyaknya kasus yang belum diselesaikan di wilayahnya tersebut. Hal itu dikarenakan, kata Dicky, penyidik yang ada di kepolisian Sulsel saat ini masih kurang dibandingkan dengan banyaknya kasus.
“Antara jumlah kejahatan dengan jumlah penyidik itu tidak berimbang, bayangkan satu penyidik harus menyelesaikan 10 kasus,” ucap Dicky saat dihubungi, Jumat (25/10/2019).
Ia mengatakan, penyidik yang ada saat ini kelimpungan dengan banyaknya kasus yang mesti diselesaikan. Ia pun membandingkan jumlah penyidik di negara lain. Katanya, tiap penyidik di negara maju maksimal hanya menangani tiga kasus, berbeda dengan pihaknya yang tiap penyidik bahkan menangani hingga 10 kasus.
“Jumlahnya belum maksimal, belum selesai kasus diselidiki, ada lagi kasus baru, satu kasus saja mungkin penyidik harus fokus selama lima hari,” ujarnya. Tambahnya lagi, anggaran saat ini dinilai masih kurang.
Beragam Faktor Tindakan Kejahatan Termasuk Membawa Sajam
Pakar Kriminologi Universitas Negeri Makassar, Prof. Heri Tahir mengatakan, beragam faktor seseorang melakukan tindak kejahatan, namun yang selalu menjadi alasan utama adalah karena faktor ekonomi. Faktor tersebut, Heri menyebut sebagai faktor yang sudah klasik.
Ia mengatakan, tingginya kasus pencurian menjadi bukti bahwasanya faktor ekonomi selalu menjadi alasan utama seseorang melakukan tindak kejahatan. Faktor lain, kata Heri, adalah lingkungan, budaya, hingga hubungan dalam keluarga rusak. Untuk faktor yang disebut terakhir, ia mencontoh dampaknya yakni para pelaku begal yang cukup banyak masih di bawah umur.
Heri mengamati, alasan lain yang cukup lokal adalah kebiasaan orang-orang di Sulsel yang membawa senjata tajam. “Kita ini di Sulsel kan ada budaya seolah sangat dekat dengan membawa senjata tajam, kejahatan senjata tajam kan termasuk yang kedua [tertinggi],” ucapnya saat dihubungi pada Jumat, 25 Oktober 2019.
Untuk itu, ia menyarankan kepada pihak kepolisian untuk melakukan sweeping dan upaya pencegahan sebelum terjadi tindak kejahatan. Ia menekankan, pencegahan adalah yang pertama kali perlu dilakukan.
Perihal masih minimnya penyelesaian kasus selama tahun 2017, Heri menilai hal itu dikarenakan kasus yang ada tidak sampai ditahap pengadilan hanya ditahap penyidikan. Langkah itu ditempuh para pelaku ataupun korban jika tindakan kejahatan terbilang ringan ataupun bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Selain itu, jumlah personel belum ideal dengan penduduk Sulsel. Ia mengatakan, merujuk komposisi minimal dari UNESCO, yakni 1 personel kepolisian untuk 300 penduduk. Kebutuhan itu belum terpenuhi di Sulsel, sehingga masih banyak kasus belum bisa diselesaikan.
Angka-angka kriminalitas tersebut merupakan kasus yang dilaporkan ke kepolisian (recorded crime). Masih terdapat kejahatan terselubung (hidden crime) yang tidak mempunyai data pasti. Alasannya beragam, pelaku melarikan diri, pelaku menghilangkan jejak, korban tak menganggap begitu penting kejahatan, korban diancam, korban enggan berurusan dengan polisi, ataupun polisi kekurangan bukti.
Penulis: Amri N. Haruna
Editor: Dian Kartika