Bangsa Indonesia adalah cosmopolitanisme berbagai bangsa dari kesejarahan kontekstual yang di konstruksi dalam spirit kesatuan. Olehnya, membangun bangsa adalah tugas bersama, maka marilah bergotong royong untuk mewujudkan segala tujuan bangsa.
– Al Mukhollis Siagian
Sengketa pembangunan kini mengkristal dalam setiap benak pemimpin Negara untuk mencairkan permasalahan-permasalahan sosial yang sempat membeku. Dimana upaya pembangunan dilakukan untuk meletakkan sendi-sendi kehidupan Negara yang lebih harmonis dan manusiawi.
Catatan terhadap permasalahan yang terkandung dalam negeri memiliki tampilan unik yang harus diretas, mulai dari pelanggaran HAM, angka korupsi, kemiskinan, patologi dan konflik sosial lainnya serta pembangunan masih tergantung dari bantuan negara lain.
Belum lagi adanya tarian dari beberapa wilayah untuk memerdekakan diri, hutang luar negeri yang harus ditanggung oleh beberapa generasi dan lingkungan yang semakin rumit dipahami.
Tentu kondisi ini harus dihadapkan dengan kebijakan yang melampaui keterbatasan oleh semua lapisan Negara, hal tersebut penulis maksud sebagai publikisme yang melakukan kerjasama untuk membangunnya (gotong royong).
Dalam kajian Administrasi Publik, publik diartikan sebagai satu kesatuan kerjasama pemerintah, swasta dan masyarakat. Berarti publikisme ini merupakan penyadaran kembali bahwa bangsa ini adalah milik bersama yang tanggung-jawabnya juga dipikul secara bersama.
Jauh sebelum ini, Soekarno juga pernah menyatakan bahwa Pancasila yang merupakan Way of Life dan ideologi bangsa jika dikerucutkan menjadi satu sila maka namanya adalah Ekasila yang isinya gotong royong.
Namun, kini semua itu seakan terkubur bersama sejarah dan hanya menjadi hapalan untuk memperoleh nilai dalam buku pelajaran anak sekolah. Lihat saja fakta yang berkata bahwa persesuaian kerapkali terjadi di tengah kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara sebagai kulminasi pengabaian antar generasi terhadap sejarah.
Apabila kita menilik kembali kesejarahan kontekstual bangsa Indonesia terbentuk sewaktu menyisir kolonialisme dan imperialisme, bangsa yang disatukan dari berbagai bangsa yang memiliki spirit kesatuan dan menggalang kekuatan bersama.
Sehingga bagi penulis bangsa Indonesia adalah cosmopolitanisme berbagai bangsa dari kesejarahan kontekstual yang dikonstruksi dalam spirit kesatuan. Olehnya, membangun bangsa adalah tugas bersama, maka marilah bergotong royong untuk mewujudkan segala tujuan bangsa.
Berbeda dengan cikal bakal terbentuknya bangsa dalam Negara lain, seperti halnya Republik Prancis sebelum menjadi Republik mereka sudah berasal dari bangsa yang sama, yakni bangsa France.
Sehingga keadaan ini merupakan keunikan majemuk bangsa yang harusnya menjadi kekuatan berdaya dahsyat dalam melakukan pembangunan berkesinambungan untuk menyisisr segala permasalahan dari sendi-sendi kehidupan. Oleh karenanya perlu kita lakukan refleksi spirit kebersamaan (gotong royong).
Menjadi Negara yang adaptif terhadap perubahan global adalah keharusan, namun jika tindakan tersebut merusak tatanan psikologi bangsa maka istrahatkan saja keadaptifan tersebut. Sebab implikasinya adalah rusaknya jiwa bangsa (Pancasila) dan raga bangsa (NKRI).
Benar bahwa penjajahan secara fisik (peperangan) antar Negara sudah lama berakhir, namun bukan berarti penjajahan terhadap Negara terbelakang lepas dari cengkeraman Negara maju. Dan Indonesia adalah bangsa yang rawan dalam jajahan dan pemetaan Negara-negara maju untuk menguasainya.
Mari kita ulas kembali ke belakang, perang dagang antara AS-Tiongkok merupakan sinyal bahwa perang besar itu bernama ekonomi dan energi, dan satunya-satunya Negara yang masih menyimpan energi tinggi di dunia serta bernilai ekonomis tinggi adalah Indonesia. Namun sumber daya manusianya masih lalai untuk berdiri di atas kaki sendiri, karenanya Indonesia rawan dalam cekikan bangsa lain.
Indonesia hari ini adalah Negara yang sedang gencar melakukan pembangunan segala aspek kehidupan, namun jalan yang ditempuh oleh pemerintah adalah meminjam kaki Negara lain (berhutang). Belum lagi isu sewaktu pilpres kemarin, bahwa banyak bertaburan di media bahwa proses pemilihan pemimpin Negara kita tidak lepas dari cengkeraman AS dan Tiongkok.
Akankah kita melupa yang dikatakan Soekarno bahwa persoalan ekonomi harus berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), atau seperti pemikiran Hatta dalam gagasan perekonomiannya bahwa usaha bersama (cooperation) adalah cara terbaik dalam membangun bangsa.
Melepaskan diri dari Negara lain terkait membangun bangsa bukanlah tindakan anti asing (xenophobia), melainkan upaya pembangunan lebih kuat dan terarah dalam menjalin kerjasama dengan Negara luar. Seiring dengan itu, menutup kran ideologi transnasional juga perlu kita tegaskan untuk lebih serius.
Indonesia sudah selesai dengan Pancasila, tidak boleh ada komunisme, marxisme, liberalisme maupun ideologi lain yang bergaya baru. Meskipun kini Indonesia berada dalam erangan neoliberalisme yang lebih mengedepankan investor dan swasta asing dalam pembangunan, sekiranya untuk pemerintah yang berkuasa hari ini mampu melepaskan itu. Sebab kita perlu gotong royong antar lapisan Negara, pemerintah, swasta dan masyarakat.
Seperti pengalaman Negara ini dalam garis sejarah, dimana ketika Indonesia berhutang pada IMF maka apapun yang dianjurkan oleh IMF harus dilakukan, yang jelas IMF harus beruntung. Begitu juga dengan kondisi saat ini, Negara yang menjadi pemberi hutang pada Indonesia akan menuruti semua sarannya, salah satu proyek One Belt One Road (OBOR).
Dimana proyek ini adalah akan menuai dalih dari pengambil kebijakan bahwa dalam pembangunan bangsa harus dilakukan ekonomi terbuka, sehingga dibukakan jalurnya (jalur sutra). Lalu pertanyaannya, apakah pemerintah tidak memahami kondisi kesiapan masyarakat?
Tentu pertanyaan ini akan dijawab dengan lugas oleh pemerintah, namun pada dasarnya pemerintah mengabaikan peran dan keikutsertaan masyarakat.
Dalam konteks ini, Indonesia merupakan Negara independen dengan permasalahan bangsa yang begitu kompleks. Namun bukan berarti permasalahan ini tidak bisa disisir, syaratnya adalah mengesampingkan segala ego pragmatis lalu menyatukan komitment gotong royong untuk membangun.
Meskipun saat ini kebijakan masih totaliter bergaya baru oleh pemangku kekuasaan, namun kita tegaskan dan tekankan bahwa keseriusan mereka para aparat pemerintahan untuk memiliki wawasan pemikiran dan mentalitas yang kondusif terhadap masyarakat, lebih mengedepankan kerjasama lapisan Negara dalam mengembangkan nilai-nilai Pancasila untuk pembangunan bangsa pada sendi-sendi kehidupan.