POPULISME AGRARIA adalah agenda usang. Tak hanya usang, malahan hingga kini pun agenda itu masih jauh tak terlihat.
Wajar saja jika peringatan Hari Tani 24 September hanya diisi dengan embel-embel ‘Petani adalah pahlawan tanpa tanda jasa, berkat mereka lah kita bisa makan, petani jantung kehidupan’ atau semacam tetek bengek lainnya.
“Sekarang kan gitu, urusan NGO hanya urusin petani, gimana petani dapat tanah, dapat tanah ya udah selesai. Terus nasib buruh-buruh di perkotaaan? ‘Ya itu bukan urusan saya, itu urusannya NGO perburuhan’. Itulah corak populisme agraria yang muncul sejak tahun 1990-an di Indonesia yang kemudian bertahan sampai sekarang,” ucap Muhtar Habibi menjelang akhir diskusi.
Mengapa Muhtar, akademisi Doctoral Development Studies SOAS University of London berkata demikian? Ia, dalam diskusi yang diprakarsai oleh Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) di Student Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas), Sabtu sore (14/9/2019) bahkan dengan satire menyinggung gerakan populisme agraria tak menyentuh realitas sosial petani.
Bagaimana Pandangan Populisme Agraria?
Populisme agraria jika disingkat dalam satu kalimat adalah mereka yang petani. Pandangan ini jika dilihat secara sederhana pun, melihat petani sebagai satu komunitas yang egalitarian dan homogen.
Muhtar mengatakan, pandangan ini pertama kali dicetuskan oleh A. V. Chayanov, tokoh utama populis agraria dari Rusia pada abad 19. Dalam pemikirannya, kata Muhtar, Chayanov menganggap, watak petani pada dasarnya adalah subsistensi. Yakni, kelompok yang tak punya gairah untuk meraih surplus.
Artinya, kelompok petani tak ingin menghabiskan tenaga dan waktu luang mereka hanya untuk mengejar untung sebesar-besarnya. Kelompok petani sudah merasa cukup jika kebutuhan dasar rumah tangga mereka telah terpenuhi.
Konsep demikian bisa terbentuk dikarenakan, kelompok petani dalam mengambil keputusan hanya memperhitungkan rasio pekerja dan konsumen. Yakni pengambilan keputusan didasarkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Cara pengambilan keputusan ini jelas kontras dengan pemikiran kaum neo klasik, yakni individu yang rasional, egois dan selalu mempertimbangkan untung-rugi dalam memutuskan sesuatu.
Ia mencontoh, dalam satu keluarga terdapat orang 4 anggota: kedua orang tua dan dua anak balita. Kebutuhan mereka dalam satu tahun pun yakni 1 ton beras. Jika dua pekerja yakni orang tua yang bekerja selama 8 jam sehari menggarap sawah dan mampu menghasilkan jumlah tersebut, untuk apa lagi mesti menambah jam kerja – misal 12 jam sehari – hanya untuk meraih surplus?
“Dan bagi Chayanov, hal itu tidak mungkin dilakukan karena petani tidak akan mau menukar waktu luangnya itu hanya untuk bekerja menghasilkan sesuatu yang surplus yang tidak ada gunanya, toh kebutuhannya sudah terpenuhi dengan 8 jam kerja tadi, ngapain harus kerja 12 jam sehari,” ucap Muhtar.

Karena rasio seperti itu, kelompok petani dibayangkan Chayanov sebagai masyarakat yang progresif; baik, karena tak ada ekploitasi, dan tak ketimpangan diantara para petani.
“Chayanov di sini melihat masyarakat petani yang progresif, yang patut untuk dipertahankan, dan dipelihara,” ujarnya.
Masalahnyaadalah, masyarakat petani ini tidak hidup di ruang hampa, tidak tinggal di bulan, namun tinggal di bumi manusia dengan segala persoalannya yang ada. Petani ini kemudian harus menghadapi ancaman kapitalisme atau penetrasi pasar.
Lantas bagaimana kelompok petani bisa bertahan dari gempuran tersebut?
Kata Muhtar – masih dari pemikiran Chayanov – jawabannya adalah dengan melakukan land reform.
Kenapa demikian? Ketika kapitalisme masuk ke pedesaan, orang-orang yang tadi dibayangkan homogen dan egalitarian, mulai mengalami difrensiasi yakni adanya perbedaan kelas.
“Ada sebagian petani yang karena dia memperoleh input yang lebih baik, menggunakan teknologi yang lebih bagus, maka meningkatkan produktifitas, surplusnya, dan akhirnya memperoleh uang yang cukup untuk membeli lahan tetangganya yang kebetulan kalah bersaing dengan dia,” jelasnya.
Gempuran kapitalisme ini lantas menciptakan kelas-kelas petani, yakni petani kapitalisme (memiliki lahan yang luas dan mampu mempekerjaan orang lain), petani mandiri (mempunyai lahan yang cukup), dan petani-buruh (hanya mempunyai secuil tanah yang tidak cukup memenuhi kebutuhan dan mesti menjual tenaga kerjanya).
“Kapitalisme memang jahat bagi Chayanov, masyarakat yang tadi dibayangkan bagus berubah dengan adanya ketimpangan dan eksploitasi,” ucap Muhtar.
Atas landasan pemikiran itu, populisme agraria dicetuskan oleh Chayanov. Pemikirannya, kata Muhtar, Chayanov bertekad mengembalikan tanah-tanah yang terampas akibat dari gempuran kapitalisme untuk dikembalikan kepada petani yang kehilangan lahan.
Pemikiran Chayanov yang kemudian menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan agraria di jaman sekarang, termasuk di Indonesia.
Kritik terhadap Populisme Agraria
Pandangan ini kemudian mendapatkan kritiknya dari Vladimir Lenin, kaum sosialis di abad 20. Lenin mengkritik pandangan Chayanov yang populis ini. Kata Muhtar, Lenin membantah itu, ia menunjukkan Rusia saat itu, petani itu tidak seperti yang dibayangkan Chayanov.
Sebaliknya, pandangan Lenin mengatakan, petani di Rusia sejak abad itu, sudah mengalami perbedaan kelas. Artinya ada sebagian petani yang memang kaya raya, punya tanah yang begitu luas, sementara sebagaian besar petani itu tidak punya tanah sama sekali.

Muhtar lebih jauh menjelaskan, Lenin menilai agenda land reform dilihat bagi Chayanov sebagai tujuan akhir, bukan sebagai alat untuk proses pembangunan yang lebih lanjut.
Kenapa disebut tujuan akhir? Karena tujuan populis sekadar ingin mengembalikan bayangan masa lalu, petani yang tadi baik diusir dari tanahnya, tidak punya tanah lagi. Maka tujuan mereka adalah bagaimana memberikan orang-orang tadi untuk kembali punya tanah.
Setelah itu? ya sudah selesai. Artinya masyarakat petani yang dibayangkan egaliter itu kembali bisa diciptakan kembali dengan memberikan akses tanah kepada yang terusir.
Lalu apa agenda Lenin sebagai seorang kapitalis untuk mengintervensi fenomena sosial bahwa petani terbagi dalam kelas? tanya Muhtar melanjutkan.
Para kaum sosialis pun, kata Muhtar, sebenarnya setuju tentang perlunya melakukan perombakan pertanian, tetapi sosialis tidak berhenti di situ saja. Bagi kaum sosialis, mereka mempertanyakan agenda kaum populis.
“Jika agenda land reform berhenti sampai disitu terus, lantas bagaimana nasib buruh-bruhnya yang sudah terlanjur di kota, yang sudah terlanjur menjadi buruh puluhan tahun dan tidak punya tanah, terus nasih mereka bagaimana? Apakah mereka kemudian tidak masuk dalam agenda land reform tadi?” tanya Muhtar.
Sosialis menawarkan agenda, tidak sekadar melakukan perombakan tanah di pedesaan begitu, tapi mereka juga memikirkan bagaimana nasib dari buruh-buruh yang sudah terlanjur ada di perkotaan. Sehingga agenda mereka tidak sekadar land reform tetapi plus industrialisasi.
Kenapa industrialisasi? Karena menciptakan valiatif yang lebih tinggi, menciptakan multiplayer effect yang itu akan merangsang, jutaan pekerjaan yang lebih baik, lebih banyak, lebih layak.
“Tidak seperti sekarang, ketika pekerja sudah tidak dapat akses ke pertanian, industrialisasi mengalami kemacetan, orang jadinya nanti apa? tukang tambal ban, PKL, jualan bendera setahun sekali, dan pekerjaan lain yang mungkin tidak masuk akal,” ujar Muhtar.
Kaum sosialis memikirkan mereka ini, pekerja yang tidak terserap baik di pertanian maupun di sektor industri yang terformalisasi, yang teregulasi oleh negara, yang dilindungi oleh negara. Kepada pekerja yang kemudian disebut pekerja informal, jumlah pekerja yang paling besar sekarang di Indonesia.
“Pekerja formal yang sejelek-jeleknya bekerja di buruh pabrik. Mereka masih punya kontrak kerja begitu. Mereka masih bisa menuntut hak normatifnya, mereka menuntut perlindungan negara dalam bentuk upah minimum, jaminan sosial,” ucapnya lebih jauh.
Karena sifat kerentanan dari pekerja informal inilah, sosialis melihat tidak cukup jika hanya melakukan land reform saja, tidak cukup hanya mengurus petani saja.
Maka agenda kaum sosialis, selain perombakan di pertanian, mereka kemudian harus menjawab bagaimana melakukan proses industrilisasi domestik. Mungkin pertanyaan yang lebih speseifiknya adalah bagaimana pertanian itu mampu berkontribusi bagi proses industrilisasi domestik itu?
Rekam Jejak Land Reform di Indonesia
Hari Tani Nasional (HTN), pertama kali dirayakan di tahun 1960 sebagai bentuk perayaan dari disahkannya UU Nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Intinya Indonesia akan melakukan land reform dalam bentuk restribusi tanah. Artinya mereka yang tidak punya tanah itu akan diberi tanah, dengan mengambil dari mereka yang punya tanah terlalu luas.
“Tuan tanah, petani kapitalis itu adalah objek land reform, mereka menjadi target dari kelebihan luas tanah yang kemudian mau dibagikan kepada buruh tani dan petani buruh yang tidak punya tanah,” jelas Muhtar.
Tetapi di tahun 1960-an, agenda land reform tak sekadar berhenti di situ tetapi ditindaklanjuti oleh Seokarno dengan upaya untuk melakukan industrialiasi secara nasional. Tiga tahun sebelumnya pun, Seokarno telah melakukan industrialisasi domestik dengan meng-nasionalisasikan perusahan-perusahaan asing.

“Artinya, di jaman kelahiran Hari Tani Nasional, land reform itu tidak mengikuti agenda land refom kaum populis tadi. Indonesia saat itu menempatkan land reform itu sebagai bagian dari agenda yang lebih luas: pembangunan nasional. Land reform adalah landasan bagi industrialisasi,” jelas Muhtar.
Namun tak jua selesai agenda tersebut, land reform terhenti pada tahun 1965, yakni ketika terjadinya peristiwa pembantaian anggota PKI dan simpatisannya.
Peristiwa ini berdampak besar terhadap agenda land reform, sebab PKI merupakan kelompok yang dengan getol mendukung agenda tersebut.
“Tapi di tahun 1965, terjadi tragedi politik terjadi pembantian massal terhadap kekuatan kiri di Indonesia,” sebutnya.
Akibatnya? setelah 1965 gagasan tentang dua paket pembangunan land reform dan industrialisasi, seperti kehilangan daya pendorongnya karena tidak ada kekuatan politik yang terus mendorong agenda itu.
Seoharto kemudian menggunakan politik otoritarian untuk mengontrol semuanya. Tak pernah lagi ada namanya land reform. Soeharto mengganti agenda land reform dengan yang ia sebut sebagai Revolusi Hijau.
Revolusi hijau ini tujuan utamanya bukan untuk restribusi tanah tapi sekadar untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Makanya alih-alih restribusi pertanian, yang Seoharto lakukan adalah memberikan bantuan input produksi baik itu benih, bibit, pupuk, alat pertanian, kredit bagi petani pedesaan terutama petani yang – dibilang Lenin tadi – petani kapitalis yang lahannya luas.
Agenda revolusi hijau ini kemudian menutup memori tentang agenda land reform.
Hingga pada tahun 1990-an, agenda land reform kembali mengemuka. Inisiatornya, dari kalangan petani yang dibantu oleh NGO.
Para petani ingin memperoleh akses dari tanah-tanah yang dikuasai negara, NGO masuk kemudian turut mengadvokasi agar petani itu memperoleh akses tanah disekitar perusahaan negara atau perusahaan swatsa yang diberikan hak konsesi lahan oleh Negara.
Sayangnnya agenda land reform yang muncul tahun 1990-an ini berbeda dengan agenda land reform di tahun 1960-an. Jika agenda land reform tahun 1960-an didukung oleh partai politik yang jelas yakni PKI, maka pada tahun 1990-an hanya didukung oleh NGO. Dampaknya, pendekataan agenda tersebut menjadi sektoral.
“Dari sini lah kemudian agenda land reform itu sejak tahun 1990-an sampai sekarang itu punya corak yang lebih dekat kepada tradisi yang populis karena mereka pendekatannya cuma sektoral yang cuma urus petani saja,” tutup Muhtar.
Reporter : Amri N. Haruna