Di tengah semakin meluasnya pandemi Covid-19 ini, sebagian besar kebijakan tampak sangat bisa dimaklumi. Namun, PHK terhadap karyawan yang dilakukan secara massif dan hampir serentak saat ini apakah sudah sesuai prosedur?
AksaraINTimes.id – “Kebijakan pembatasan ruang gerak yang dikeluarkan oleh Pemerintah demi meminimalisir penyebaran Covid-19 ditengah masyarakat, juga berdampak pada stabilitas Ekonomi. Sudah terdapat banyak Perusahaan yang mengaku mengalami penurunan penghasilan dan menganggap mengalami kerugian sehingga “tidak mampu” lagi memberikan upah pada Pekerja/Buruh. Akibatnya, gelombang kebijakan Perusahaan me-rumah-kan bahkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi dengan massif.” Demikian isi paragraf ke tujuh dalam siaran pers yang dibacakan oleh beberapa perwakilan federasi dan serikat buruh di Sulawesi Selatan.
Senin, 20 April 2020, beberapa kelompok yang menaungi buruh melakukan Konferensi Pers Online. Selain bertujuan melakukan launching posko pengaduan terhadap pekerja yang mengalami PHK, mereka juga membahas mengenai hak-hak pekerja yang seharusnya dipenuhi perusahaan sebelum dirumahkan.
Mereka yang menjadi pembicara dalam launching tersebut antara lain Muhamad Haedir (LBH Makassar), Asniaty (GSBN), Noval (FPBN), Salim Samsur (SPN SULSEL), dan A. Kurniawan (FSB KAMIPARHO KSBSI), serta dipandu oleh Edy Kurniawan sebagai moderator.
Ya, salah satu imbas dari munculnya wabah corona adalah aktivitas kerja yang mau tak mau harus dilakukan dari rumah. Para pekerja diimbau untuk tak beraktivitas di kantor atau tempat kerja mereka untuk sementara waktu. Sebagian besar perusahaan bahkan menutup kantor dan lahan usaha mereka.
Sayangnya, kebijakan Work From Home ini juga mengakibatkan hal lain. Seperti dalam siaran pers di atas, banyak pekerja yang tak hanya dipersilakan bekerja dari rumah, melainkan benar-benar mengalami PHK.
Dari berbagai laporan media, PHK hingga dirumahkan di Indonesia per/13 April 2020 selama pandemi covid-19 sudah berada di angka 2,8 juta orang. Perolehan data dari asosiasi dunia usaha, industri, dan Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) seluruh Indonesia mencatat 212.394 pekerja formal mengalami PHK. Selain itu, untuk pekerja formal yang dirumahkan baik dibayar penuh, setengah, atau tidak sama sekali sebanyak 1.205.191 orang.
Sedangkan, pada sektor informal, ada sekitar 282.000 lenih tenaga kerja yang dirumahkan hingga di-PHK. Data lainnya juga diperoleh dari BPJS Ketenagakerjaan, dengan pemaparan sekitar jumlah pekerja formal yang dirumahkan sekitar 454.000 dan ter-PHK sekitar 537.000.
Khusus untuk wilayah Provinsi, seperti yang dijelaskan Muhammad Haedir dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, saat Konferensi Pers Online melalui aplikasi zoom, Senin (20/04/2020) kemarin, angka yang dirilis dari Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Selatan untuk pekerja yang dirumahkan adalah sekitar 7000-an.
Namun, angka tersebut akan dipastikan kembali melalui posko pengaduan yang rencananya akan dibuka dalam waktu dekat. “Posko ini, akan menjaring data-data ini. Semoga pekerja memiliki kesadaran untuk kemudian mengadu ke posko ini, pekerja yang 7000 ini…,” ujar Haedir.
Alasan utama beberapa perusahaan menerapkan kebijakan ini adalah sebab mereka mengalami kerugian. Karena karyawan harus berada di rumah, otomatis produksi dan aktivitas rutin mereka jadi menurun. Kondisi ini kemudian berdampak pada pemasukan. Meski demikian, ada juga perusahaan yang tetap berusaha membayar upah karyawan meski tak penuh.
Di tengah semakin meluasnya pandemi Covid-19 ini, sebagian besar kebijakan tampak sangat bisa dimaklumi. Namun, PHK terhadap karyawan yang dilakukan secara massif dan hampir serentak saat ini apakah sudah sesuai prosedur?
Alasan Merugi Jadi Kedok Perusahaan Lakukan PHK tanpa Memenuhi Hak Para Pekerja
Menyoal banyaknya jumlah pekerja yang mengalami PHK dari perusahaan tempat mereka bekerja, beberapa serikat dan federasi buruh kemudian berinisiatif untuk membuka posko pengaduan.
Diakui Haedir, diantara kebijakan yang diterapkan oleh para pengusaha memang ada yang bermaksud untuk mencegah penyebaran covid-19. Memberlakukan rolling, misalnya. Menurutnya, kebijakan tersebut memang sudah sesuai dengan surat edaran dari Menteri Ketenagakerjaan
Sayangnya, atas alasan mengalami kerugian akibat pandemi covid-19, beberapa pengusaha akhirnya memutuskan untuk melakukan PHK. Padahal, Haedir menekankan, dalam Undang-undang ketenagakerjaan telah dijelaskan bahwa semua pihak baik pekerja, pengusaha, pemerintah, dan serikat yang menaungi para buruh wajib untuk mencegah adanya PHK.
“Meskipun, kemudian harus ada PHK, itu sebenarnya ada peraturan menteri (surat edaran menteri No. 907 tahun 2004. red) yang mengatur soal itu,” jelas Haedir.

Haedir melanjutkan, bahwa sebelum sebuah perusahaan melakukan PHK, seharusnya mereka terlebih dahulu melakukan tindakan-tindakan pencegahan. Misalnya dengan mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas—manajer dan direktur, juga mengurangi shift atau jam kerja, merumahkan pekerja, tidak melanjutkan kontrak, dan memberikan pensiun. Namun yang terjadi saat ini adalah PHK dilakukan tanpa terlebih dahulu memerhatikan hak-hak pekerja seperti yang disebutkan.
Bahkan, menurut Haedir tak hanya soal PHK, kebijakan merumahkan pun memiliki aturan. Perusahaan tidak bisa begitu saja merumahkan karyawannya, apalagi tanpa upah atau hanya dibayar setengah.
“Soal rugi, sepakat tadi, bahwa kalaupun rugi, ya harus dibuktikan, dong. Betul atau tidak mereka merugi, pengusaha ini merugi. Ini, kan aturannya jelas, di undang-undang ketenagakerjaan jelas, bahwa pekerja (pengusaha. Red) yang melakukan PHK, misalnya yang mengaku karena merugi atau… apa namanya, force majeur, ya harus menunjukkan bukti kerugiannya, berupa audit. Itupun kerugian dua tahun berturut-turut. Ini baru dua bulan,” papar Haedir.
Lagipula, Menteri Ketenagakerjaan juga sudah memberi imbauan untuk merundingkan soal bayaran kepada para pekerja, jika memang perusahaan tak sanggup membayar penuh upah mereka. Hal itu dimaksudkan untuk meringankan beban perusahaan dan mencegah terjadinya PHK.
Melihat tindakan perusahaan yang melakukan PHK tanpa pertimbangan-pertimbangan tersebut, menurut Salim Samsur yang mewakili SPN Sulsel, justru tidak memperlihatkan niat pengusaha untuk memutus rantai Covid-19, melainkan menjadikan situasi pandemi ini sebagai kesempatan untuk mengurangi pekerja-pekerja lama.
“Apalagi dengan pekerja-pekerja lama, ya, semua perusahaan saat ini saya kira tahu, ya, hak-hak pesangonnya pekerja-pekerja lama dengan upah minimum yang 3,1 (tiga juta seratus ribu rupiah. Red) saat ini itu sangat tinggi, dan banyak mengambil kesempatan,” lanjut Salim.
Ia juga memaparkan, saat ini Serikat Pekerja Nasional menemukan beberapa perusahaan yang mengurangi jam kerja diikuti dengan pengurangan upah karyawan. Alasannya, orderan sepi. Namun faktanya, para pekerja tetap melakukan aktivitas mereka, bahkan lebih banyak dari biasanya sebelum masa pandemi untuk menutupi hari-hari di mana mereka tidak bekerja.
“Artinya, mereka bukan merugi karena dampak covid, tapi mengambil kesempatan dengan adanya pandemi covid ini untuk apa namanya… mengurangi pengeluaran perusahaan. Ini yang mau kita antisipasi,” Kata Salim.
Disnaker yang Tak Mau Tahu Aturan Soal PHK
Saat ini, Disnaker memang telah membuka posko pengaduan untuk pekerja yang di-PHK. Sayangnya, menurut Muhammad Haedir, mereka masih mengabaikan hak-hak pekerja saat mereka mulai dirumahkan hingga diberlakukan PHK.
Terkait dengan hal ini, menurut Muhammad Haedir, Disnaker juga justru tidak melakukan apa-apa. Mereka justru melakukan hal lain, yakni pendataan kartu prakerja.
“Kartu prakerja juga, berapa sih kartu prakerja? Enam ratus… berapa? Enam ratus ribu yang kemudian juga ada akses kepada pelatihan yang kita tahu hari ini, ya kalau sekadar mau dilatih seperti itu (online. Red), buka youtube bisa gratis tidak perlu bayar,” ujar Haedir.
Apa yang disampaikan oleh Haedir ini diaminkan oleh Salim Samsur. Menurutnya, posisi Disnaker khususnya di Kota Makassar ini sangat lemah. Situasi ini membuat kelompok yang memperjuangkan hak-hak buruh kesulitan, terutama ketika melakukan mediasi ke perusahaan-perusahaan.
“Ketika Disnaker turun ke perusahaan, mensosialisasikan edaran menteri itu, justru akan mendapatkan alasan dari perusahaan, alasan merugi-merugi itu,” ujar Salim. Padahal menurutnya, dengan adanya aturan yang sudah jelas, posisi para pekerja sebenarnya sangat kuat di mata hukum.
Salim berharap, pemerintah bisa mengambil tindakan tegas bagi pengusaha-pengusaha yang seenaknya melakukan PHK, khususnya mereka yang tampaknya mengambil kesempatan di tengah pandemi covid-19. Belum lagi dalam waktu dekat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akan diterapkan, sudah seharusnya pemerintah juga memerhatikan nasib para pekerja yang dirumahkan.
Penulis: Dian Kartika