PERTANIAN merupakan sektor utama penunjang perekonomian Sulawesi selatan. Sektor ini menyumbang 22 persen pertumbuhan ekonomi dengan nilai tambah mencapai 54 triliun rupiah. Pertanian juga menjadi sektor ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja paling banyak, yakni mencapai 35,96 persen pada agustus 2019 (BPS).
Namun jika dibandingkan dengan data pada tahun sebelumnya (agustus 2018), angka tersebut mengalami penurunaan sebesar 49.093 orang. Pengurangan ini salah satunya disebabkan oleh peralihan lapangan pekerjaan, terutama di sektor administrasi pemerintahan yang mengalami pertambahan sebanyak 30.899 orang dan sektor transportasi bertambah sebanyak 19.137 orang. Sektor yang terakhir terutama didominasi oleh perkembangan transportasi online.
Selain itu, penyebab lain adalah menurunnya minat pemuda untuk menjadi petani. BPS mencatat bahwa sektor pertanian masih didominasi oleh kelompok umur 45 sampai 54 tahun dengan jumlah 264.190 petani. Sedangkan yang berusia muda, yakni di bawah 25 tahun, hanya 16.195 petani.
Tidak bisa dipungkiri, pandangan yang mendiskreditkan perofesi petani di masyarakat masih cukup besar. Petani masih dianggap sebagai pekerjaan kelas bawah, sehingga kurang dilirik oleh pemuda.
Kesejahteraan petani juga menjadi salah satu penyebab. Profesi sebagai petani dianggap tidak mampu memberikan jaminan masa depan. Penyebabnya karena penguasaan lahan pertanian yang masih timpang. Dari total jumlah petani, petani gurem (petani dengan penguasaan lahan kurang dari 0,50 ha) masih mendominasi.
Terdapat 393.766 rumah tangga petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, sedangkan rumah tangga yang menguasai lahan lebih dari 10 hektar hanya berjumlah 2.434 rumah tangga.

Fakta ini menjadi bukti, bahwa reforma agraria yang selama ini diusung oleh pemerintahan Jokowidodo belum menyelesaikan persoalan. Penerbitan dan pembagian sertifikat gratis kepada petani tidak menyentuh akar permasalahan dunia pertanian, yakni penguasaan lahan yang timpang.
Penurunan jumlah profesi petani di Sulawesi Selatan harus menjadi prioritas pemerintah jika ingin menjadi “ketua kelas” bidang pertanian, khususnya kawasan timur Indonesia, sebagaimana ambisi guberbur Nurdin Abdullah.
Penulis: Akmal Ashar