Gelombang demonstrasi mulai mereda, tapi konflik pemikiran belum usai. Itu kiranya yang menjadi polemik kebangsaan kita soal beberapa Racangan Undang-undang dan undang-undang yang dianggap anti demokrasi oleh beberapa demostran yang melakukan aksinya beberapa pekan lalu.
Redanya gelombang massa justru semakin hari – semakin memperkuat angin pemikiran dari berbagai pihak, yang paling sering dibincangkan beberapa hari belakangan ini soal Revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK yang resmi disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-9 DPR Selasa, 17 September 2019, lalu.
Ada hal yang aneh dari kesepakatan DPR ini, bahwa ruang rapat Dewan Perwakilan Rakyat yang selalu menjadi tempat orang-orang berdebat panjang dalam rapat-rapatnya, tertiba menjadi kompak bersepakat dalam menghadapi RUU KPK.
Ada apa?
Pertanyaan itu memang wajar muncul dipermukaan, dan mengundang banyak pendapat yang berseliweran. Salah satunya datang dari seorang perempuan tuan rumah Mata Najwa, ia berpendapat bahwa Revisi Undang-Undang KPK ini cacat prosedural karena dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi, tanpa melibatkan KPK sama sekali dan tak mendengarkan khalayak. Bahkan dengan gagah DPR mengatakan “kami tidak butuh masukan publik”.
Memperhatikan rapat DPR dan pernyataan mereka, memang semakin menguatkan pendapat khalayak bahwa ada tikus yang mencoba membangun istananya lewat kerangka aturan dan undang-undang pada Revisi UU KPK ini. Penolakan terhadap Undang-undang KPK yang baru disahkan bulan lalu ini menyentuh hampir semua lapisan, kecuali pada beberapa lapisan politisi. Saking kuatnya penolakan ini, sampai-sampai argumen yang terbangun mulai beranak pinak sampai menyentuh pada pernyataan “Turunkan Jokowi”.
Aneh sekaligus mengagumkan!
Anehnya karena DPR yang mengesahkan, Jokowi yang mau diturunkan, mengangumkannya karena mereka jeli melihat kesempatan untuk kembali mengobarkan bendera Pilpres. Sungguh bangsa yang unik dan mengagumkan.
Tapi di sisi lain, pernyataan tentang “Turunkan Jokowi” ini tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, karena kalau kita pun perhatikan, Jokowi sebagai seorang presiden yang memiliki perangkat yang utuh hanya melayangkan pernyataan ketidak-sepakatannya terhadap pengesahan Undang-undang KPK itu, padahal ada jalan lain sebagai seorang presiden jika benar-benar tidak setuju untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang biasa disingkat Perppu.
Tapi, kan Perppu ada persyaratannya?
Jika anda yang bertanya seperti ini, itu pertanyaan yang cukup berbobot dari pada langsung mengeluarkan argumen “Jokowi harus keluarkan Perppu”. Karena ada beberapa syarat dikeluarkannya Perppu oleh presiden dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 138/PUU-VII/2009, apa saja syaratnya?
- Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
- Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
- Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, pada poin satu mengatakan adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak, kemudian ini menjadi alasan beberapa pihak bahwa keadaan sekarang ini belum bisa dikategorikan sebagai keadaan yang mendesak. Padahal di sisi lain terekam dalam memori kita masing-masing dan telah diberitakan oleh banyak media tentang beberapa korban yang berjatuhan dari aksi penolakan ini, apakah itu belum bisa dikategorikan mendesak?
Jawabannya, tergantung perseorangan dalam memandang peristiwa ini. Kalau anda pun sepakat dengan jawaban ini berarti poin pertama dari putusan MK tersebut telah terpenuhi, karena keadaan mendesak yang dimaksud dalam putusan tersebut sesuai pandangan subjektifitas presiden.
Dan poin selanjutnya juga akan bisa terpenuhi dengan beberapa alasan bahwa Perppu untuk menindak lanjuti pengesahan undang-undang KPK yang baru tersebut.
Kalau ada jalannya, kenapa Jokowi tidak mengeluarkan Perppu?
Mungkin anda mulai bimbang kenapa presiden hanya mengeluarkan pernyataan tidak sepakat padahal ada langkah hukum yang bisa ditempuh, kalau anda bimbang karena tidak mengetahui isi pikiran Jokowi dan isi hatinya. Jokowi pun berhak untuk bimbang karena keputusan yang dibuatnya adalah keputusan negara yang tidak segampang membuka pintu rumah. (loh, kok pintu rumah? Bukannya membalikkan telapak tangan? Supaya dikira kreatif saja, tidak ikut istilah kebanyakan orang. Loh kok malah bercanda? Supaya pikiranmu tidak terlalu tegang pikir negara).
Kita lanjut, Mahfud MD dalam pernyataanya di CNN Indonesia, menyatakan bahwa kita jangan memperbesar polemik untuk presiden mengeluarkan Perppu, karena presiden butuh pertimbangan yang matang sebagai pemegang otoritas tertinggi di negara ini.
Saya teringat kalimat Ali bin Abi Thalib bahwa jangan mengambil keputusan saat marah dan jangan membuat janji saat bersedih. Memangnya Jokowi marah dan bersedih? Bisa jadi, marah karena kita ribut soal desak terbitkan Perppu tapi tidak tahu syaratnya dan sedih karena melihat keadaan negara yang dipimpinnya.
Kok jadi melankolis? Itu menurutmu, menurutku itu jawaban, karena kamu butuh kebijakan tentang Perppu, saya kasi kalimat bijak, bijak dan kebijakan sama-sama mengandung kata ‘bijak’. Seperti kita sama-sama punya jiwa di kandung badan, kita berpendapat boleh tapi tetap untuk sama-sama membangun Indonesia.
Karena bukan pemegang kebijakan, kita seperti seorang penonton olahraga tarik tambang. Pandai berkomentar lemah pada pihak yang kalah padahal belum tentu kuat menahan tarikan lawan.
Penulis: Muh. Kurniadi Asmi