Peraturan pemerintah terkait izin pembangunan rumah ibadah dinilai semakin memperuncing sentimen keagamaan.
Aksaraintimes.id – Rentetan penolakan warga terhadap rumah ibadah terjadi diberbagai daerah di Indonesia dalam beberapa tahun ini. Alasan penolakan yang dipakai warga selalu sama, yakni tempat ibadah yang digunakan tak memiliki izin pembangunan ataupun nasari serupa yakni bangunan tak sesuai peruntukkan.
Meski hanya masalah administrasi, namun tak jarang warga merespon persoalan tersebut dibarengi dengan tindakan-tindakan persekusi, mengintimidasi jemaah, pengrusakan hingga pada pembongkaran paksa tempat ibadah.
Jemaah Gereja Katolik Santa Clara mengingat betul ketika ratusan warga menyambangi rumah ibadah mereka di Jalan Raya Kaliabang, Harapan Baru, Bekasi Utara, Jawa Barat pada Maret 2017 lalu.
Warga berdemo menuntut pancabutan izin pembangunan dari pemerintah. Tuntutan itu dilayangkan warga karena merasa sebagai mayoritas muslim di pemukiman tersebut belum memberi izin mendirikan tempat ibadah bagi gereja Santa Clara.
Saat itu, ratusan pendemo tetap berusaha menghentikan pembangunan gereja yang telah mengantongi izin pembangunan dari Wali Kota Bekasi. Namun karena dihadang pihak kepolisian, pendemo melemparkan batu dan botol ke arah polisi. Pelemparan itu dibalas aparat dengan menembakkan gas air mata, kericuhan pun tak terelakkan.
Setidaknya dua pendemo mesti dibawa ke rumah sakit untuk perawatan, sementara para jemaah bakal dihantui rasa tak aman untuk beribadah pasca kejadian itu.
Penolakan juga dilakukan warga terhadap rencana pembangunan rumah ibadah pura di Desa Sukahurip, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, pada Mei 2019 lalu. Penolakan ini bahkan sudah dimulai warga meskipun bangunan pura sama sekali belum didirikan.
Saat itu, beberapa orang mendatangi lokasi, massa langung memasang spanduk bernada ancaman. Dalam spanduk penolakannya, tertulis ‘jika kalian tetap memaksa mambangun pura, kami siap jihad, karena kalian yang memulainya’. Namun menariknya, warga yang menolak bukanlah dari desa setempat, melainkan dari desa tetangga.
Alasan penolakan, warga khawatir jika pemerintah Kabupaten Bekasi memberikan izin pembangunan pura, bangunan pura lain bakal menyusul didirikan di wilayah mereka. Selain itu, warga menilai, penganut agama Hindu di kampung mereka sangat minim, sehingga merasa tidak perlu dibuatkan pura.
Hingga saat ini, Kabupaten Bekasi memang tak memiliki satupun pura, sehingga bagi penganut agama Hindu mesti menempuh beberapa kilometer ke Kota Bekasi untuk beribadah.
Teranyar, penolakan warga atas penggunaan bangunan balai pertemuan yang dijadikan musala bagi masyarakat Islam di Minahasa Utara, Sulawesi Utara pada 29 Januari 2020. Saat tengah malam, sekelompok warga mendatangi balai pertemuan itu dan langsung merusak bangunan.
Warga mengamuk karena balai pertemuan tersebut dijadikan sebagai tempat ibadah. Warga menilai, bangunan itu tidaklah diperuntukkan sebagai tempat ibadah karena belum mengantongi izin pembangunan. Akibat pengrusakan itu, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka. Sementara tempat ibadah tersebut ditutup sementara.
Khusus pengrusakan musala di Minahasa, hal itu menyulut respon berbagi kelompok Islam termasuk di Makassar. Pada 3 Februari 2010, Gerakan Masyarakat Makassar (Geramm) berdemo di kantor DPRD Makassar melaporkan dugaan beberapa rumah ibadah di Makassar yang tak mengantongi izin pembangunan.
Pelaku Intoleran tak Memandang Latar Belakang Agama
Setara Institute menyebut, sejak tahun 2007 hingga 2018, terdapat 398 kasus gangguan keagamaan terhadap rumah ibadah di Indonesia. Bentuk gangguan tersebut antara lain mencakup penyegelan tempat ibadah hingga intimidasi kepada masyarakat.
Diantara kasus tersebut, gangguan beribadah kepada umat Kristiani adalah yang terbanyak dengan 199 kasus. Disusul gangguan tempat beribadah masjid dengan 133 kasus, dan aliran keagamaan lain dengan 32 kasus. Sisanya ke vihara, klenteng, pura, dan sinagog.
Khusus di tahun 2018, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan mencapai 136 kasus. Diantara jumlah itu, individu adalah aktor pelanggar terbanyak 25 kasus, disusul kepolisian dengan 14 kasus, pemerintah daerah 12 kasus, warga, MUI, dan orang tak dikenal masing-masing dengan 9 kasus, institusi pendikan 5 kasus, dan FUI 4 kasus.

Dikutip dari BBC, menurut Direktur riset SETARA Institute Halili, gangguan itu kerap terjadi sejak diberlakukannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam regulasi tersebut diatur bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat serta dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
Diatur pula bahwa permohonan pendirian rumah ibadat harus diajukan kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
Persetujuan masyarakat dan IMB ini, kata Halili, sering menjadi alasan penyegelan atau penolakan suatu rumah ibadah. Padahal, kata Halili, seharusnya syarat-syarat administratif itu tidak menghapus hak konstitusional warga untuk beribadah.
“Peraturan Bersama Menteri itu sesungguhnya menyediakan ruang bagi terjadinya ketegangan dalam relasi mayoritas dan minoritas,” ujarnya.
Ia memberi contoh, banyak gereja yang kesulitan mengurus IMB, kemudian ditolak kegiatannya oleh masyarakat. Namun, Halili mengatakan, banyak juga musala yang tidak memiliki IMB tapi tidak dipersoalkan masyarakat.
Tidak hanya berdampak pada umat Kristiani, Halili mengatakan peraturan itu berdampak kepada umat Muslim, saat mereka menjadi umat minoritas di suatu wilayah. Contohnya, kata Halili, ada sebuah masjid di Kecamatan Mapanget, Manado, wilayah dengan mayoritas Kristen, yang tak kunjung mendapat IMB.
Ia menambahkan Peraturan Bersama Menteri itu juga telah membuat jemaat Ahmadiyah di sejumlah daerah tidak bisa beribadah dalam masjid.
Maka itu, Halili menyarankan pemerintah untuk segera mengubah peraturan itu. Jika tidak, katanya, peristiwa semacam itu akan terus berulang. “Tidak ada pilihan lain selain menghapus atau merivisi ketentuan dalam regulasi itu,” ujarnya.
Penulis: Amri N. Haruna