• Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
Senin, April 12, 2021
AksaraIntimes.id
  • KIRIM ARTIKEL
Tidak ada hasil
Tampilkan Semua Hasil
  • Beranda
  • Intermedia
    • Reportase
    • Editorial
    • Aksara Ads
  • Negeri Suara
    • Seputar Pemilu
    • Parlemen Affairs
  • Aksara Opera
    • Metafora Budaya
    • Opini
    • Nonima
  • Covid-19NEW
AksaraIntimes.id
  • Beranda
  • Intermedia
    • Reportase
    • Editorial
    • Aksara Ads
  • Negeri Suara
    • Seputar Pemilu
    • Parlemen Affairs
  • Aksara Opera
    • Metafora Budaya
    • Opini
    • Nonima
  • Covid-19NEW
Tidak ada hasil
Tampilkan Semua Hasil
Tidak ada hasil
Tampilkan Semua Hasil
Home Intermedia

NU-Sulsel, Jangan Melupakan(G) “Warung Kopi”! Oleh : Ijhal Thamaona (LTNNU Sulsel)

AksaraOPERA AksaraOPERA
1 September 2019
in Intermedia
0
NU-Sulsel,  Jangan Melupakan(G) “Warung Kopi”!  Oleh : Ijhal Thamaona (LTNNU Sulsel)
280
VIEWS
FacebookTwitterWhatsapp

James L. Peacock saya kenal melalui salah satu tulisannya “Rites of Modernization; Symbolic & Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama.” Buku ini diterjemahkan ke Indonesia oleh Desantara dengan judul “Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia”. L Peacock memang lebih dikenal selama ini sebagai Indonesianis yang banyak meneliti soal kebudayaan masyarakat. Tetapi ada satu tulisan L Peacock di luar kebiasaannya, yang tidak banyak dibaca oleh orang , yaitu tulisan tentang organisasi Islam di Sulawesi Selatan (Sulsel). Tulisan ini berangkat dari penelitiannya pada era 70-an di Sulsel. Saya tidak membaca tulisan Peacock ini, tapi saya mendengarkan ulasannya dari Ahmad Baso, seorang intelektual muda NU asal Sulsel, yang kini berkiprah di Jakarta menjadi penulis buku yang produktif.

Peacock dalam tulisannya tersebut, demikian Baso, menggambarkan keberadaan dua organisasi Islam paling terkemuka di Sulsel, seputar tahun 70-an, yaitu NU dan Muhammadiyah. Ketika datang ke kantor Muhammadiyah, Peacock menemukan adanya beberapa staf yang berkantor, ruang yang cukup tertata dan administrasi yang rapi. Sebaliknya ketika datang ke kantor NU, tak ada satupun pengurus yang dijumpainya, jangan lagi bicara soal administrasi yang rapi. Satu-satunya orang yang ada di kantor NU saat itu, hanyalah penjaga gedung tersebut. Orang ini lalu berkata pada L Peacock; “ Kalau ingin tahu banyak soal NU, datanglah ke kedai kopi (“Warkop”), di situ banyak pengurus NU yang berbaur dan berdiskusi dengan masyarakat. Ketika Peacock pada akhirnya menemui “NU” di warung kopi, ia pun menyaksikan bagaimana fasihnya  pengurus NU tersebut membicarakan soal-soal kehidupan rakyat bawah, yang sebagian besar adalah jamaah NU.

L. Peacock sejatinya ingin menunjukkan ‘kumuhnya’ pengelolaan organisasi NU  dibandingkan Muhammadiyah. Muhammadiyah digambarkan sebagai organisasi modern yang sudah tertata dengan baik. Sementara NU, kantornya saja tidak ada yang menghuninya dan administrasi tidak jelas.  Tetapi tanpa disadari, Peacock mengungkapkan satu hal; NU ada di ‘Warung Kopi’, NU ada di tengah jamaahnya, paham segala tetek bengek dan keluh kesah masyarakat bawah.

L.Peacock sesungguhnya memang sedang menggambarkan kenyataan di NU.  Organisasi yang berdiri 1926 ini,  sejak dari dulu dan di mana-mana, selalu tidak beres atau cenderung tidak hirau dengan segala macam pengorganisasian yang bersifat administratif. Semua pengurus NU kalau ditanya, akan selalu mengatakan jumlah jamaah NU adalah yang terbesar di Indonesia, tapi tidak pernah bisa menjelaskan berapa jumlah pasti dan siapa saja anggotanya. Organisasi tetapi paguyuban, paguyuban yang sekaligus organisasi.   

Suatu saat Gusdur pernah ditanya oleh seorang peneliti asing; “Saya dengar  NU organisasi Islam terbesar di Indonesia, tetapi sepanjang perjalanan tadi, yang saya lihat hanya papan nama Masjid Muhammadiyah, perguruan tinggi Muhammadiyah, dan rumah sakit Muhammadiyah. Tidak ada papan nama yang tertulis NU. Gusdur dengan santai menjawab; “Jangan salah, semua yang tidak ada papan namanya, itulah NU”

BACAJUGA

Bedanya Perlakuan KASN Pada Pelanggar Netralitas di Sulsel

Pecahkan Rekor di Urutan Ketiga Positif Covid, Sulsel Jangan Paksakan New Normal

Kekuatan NU yang sesungguhnya memang terletak pada kedekatan dan kesiapan mereka melayani jamaahnya, khususnya di akar rumput. Hal ini pun terjadi di Sulsel. NU selalu siap dan ada untuk melayani kehidupan keagamaan masyarakat yang rata-rata berlatar agriculture. NU selalu hadir dalam siklus kehidupan manusia (cycle of life), yakni; kelahiran, sunatan, perkawinan dan kematian. Jika ada orang sakit dan diyakini karena kekuatan yang bersifat supranatural, pengurus-pengurus NU yang aktif di tarekat siap turun tangan untuk membantu. Jika ada akikahan, pengurus NU siap baca barzanji. Ketika ada rakyat yang digusur, aktivis NU pasti ada di tempat itu mendampingi.

Pada titimangsa 80-an & 90-an, ketika Gusdur memperkenalkan NGO (Non-Government Organization), para kader dan aktivis NU sama sekali tidak canggung berkiprah di organisasi yang lebih dikenal dengan LSM tersebut. Mendampingi masyarakat akar rumput adalah  habitatnya para kader NU selama ini. Para aktivis muda itu hanya sedikit dipoles dalam metodologi pendampingan yang lebih sistematis.  Lalu diperkenalkan dengan berbagai tokoh-tokoh pejuang yang selama ini gigih membela dan mendampingi masyarakat. Misalnya Paulo Freire untuk Pendidikan pembebasan. Juga berkenalan dengan pemikir sosial-budaya, mulai Marx, Emile Durkheim, dan lainnya, untuk memahami cara-cara melakukan analisis sosial.  Selebihnya, para aktivis NU itu telah terbiasa berbaur dengan masyarakat grass root.

NU Ketika Berada Di Tepi & Di Dalam Pusat  Kekuasaan      

Mungkin karena di luar kekuasaan dan cenderung dipinggirkan di mana-mana, para aktivis NU kala itu menjadi militan. Mereka berupaya selalu melangkah lebih di depan dalam mengakses berbagai pemikiran-pemikiran kritis. NU seakan berkilau, saat dibenamkan dalam lumpur.  Contoh yang paling terang untuk kasus di Sulsel adalah di IAIN Makassar. Pada saat itu NU hanya berada di pinggir birokrasi kampus dan para aktivisnya tersingkir di sudut gelap, tetapi di saat yang sama kader-kadernya menjadi sangat militan. Mereka mengakses banyak buku-buku kritis, selalu menjadi mahasiswa terbaik dan menguasai berbagai pemikiran-pemikiran kontemporer kala itu.

Keberadaan NU di luar kekuasaan juga menjadikan organisasi ini sangat fokus dalam kerja-kerja pemberdayaan.  NU melihat dan merasakan berbagai problem jamaah secara langsung. Para pengurus dan kader-kader NU melihat langsung berbagai peristiwa di tengah jemaah babak-demi babak, bahkan terlibat di dalamnya.  Mereka tidak melongok dari jendela-jendela kekuasaan. Jendela yang kadang membatasi spektrum orang-orang yang berada di baliknya,  sehingga hanya sedikit hal dari kehidupan masyarakat di bawah yang bisa terlihat.

Keterlibatan di tengah-tengah jamaah, membuat NU  tidak hanya akrab dan menjadi tempat mengadu masyarakat, tetapi juga disegani oleh pemerintah. Kendati saat itu NU berada di luar lingkaran kekuasaan. Tidak hanya disegani oleh pemerintah, tetapi juga oleh organisasi-organisasi lainnya. Singkat kata,  NU kala itu  bisa berbaur dengan aktivis kiri, disegani oleh kelompok kanan dan membuat beberapa organisasi lain ‘sungkan’ berdiskusi atau berdebat dengan para aktivisnya. Saya sendiri merasakan bagaimana penghargaan kelompok lain terhadap para aktivis NU kala itu, yang dianggap konsisten mendampingi masyarakat dan sangat kritis.

Pasca reformasi, NU mulai bergerak ke pusat kekuasaan. Hal ini dipicu, karena penggerak gerakan sosial di NU yaitu Gusdur berhasil menjadi pucuk tertinggi dari kekuasaan tersebut.  Gerakan sentripetal (bergerak menuju pusat kekuasaan) terjadi di mana-mana dan dalam berbagai level.  NU Sulsel pun rupanya cenderung bergerak mendekat ke pusat kekuasaan itu. Perubahan-perubahan mulai terlihat. Organisasi semakin diperkuat. Kantor-kantor NU dibuat megah. Kantor NU Sulsel sendiri sudah berlantai lima dan rencananya mau berlantai sembilan.  Jabatan elit beberapa instansi dipegang. Di kampus-kampus, NU mulai merangsek ke pucuk-pucuk kekuasaan.

Peristiwa masuk ke pusat kekuasaan, semakin terlihat dalam masa kiwari ini. Kendati bukan NU berada di tampuk kekuasaan, tetapi jelas dalam pertarungan elektoral yang baru saja berlangsung, NU semakin memantapkan dirinya di kekuasaan. Pengaruhnya juga sangat terasa di Sulsel. Keinginan para pengurus, kader dan aktivis NU Sulsel untuk berada di pusat berbagai lembaga pemerintahan dan  menduduki jabatan di kampus tak dapat dibendung.

Adakah hal ini menjadi problem?  Selama para pengurus dan kader NU itu tetap memegang prinsip, bahwa kekuasaan adalah untuk kemaslahatan rakyat (tasarruful imam ala arraiyatihi manutun bil maslahah), maka berada di pusat kekuasaan bukanlah masalah. Dengan kata lain kekuasaan itu bukanlah tujuan (al-gayah), tetapi sebatas sarana (wasilah) untuk memberikan keadilan, kemaslahatan dan kebaikan pada rakyat, khususnya kalangan akar rumput.

Salah satu contoh yang baik mengenai hal ini adalah apa yang dilakukan oleh salah seorang tokoh pendiri NU, yaitu KH Wahab Hasbullah.  Tentang hal ini Adam Malik (1984) menggambarkannya dengan apik dalam tulisannya “Mengabdi Republik”.  Kata Adam Malik; “Kyai Wahab ini sebagai Kyai sekaligus tokoh bangsa (politisi di pusat kekuasaan) selalu berkecimpung di desa dan dusun. Berbaur dengan kalangan rakyat menderita, menemukan ketenangan jiwa di langgar reot sambil bertasbih. Singkat kata Kyai Wahab berkomunikasi tanpa henti dengan rakyat kecil, bahkan menjadi satu dengan rakyat kecil tersebut.” Ketika menggambarkan Kyai Wahab ini, Adam Malik membandingkan Kyai Wahab dengan Syahrir yang dianggap sebagai elite politik yang membatasi dirinya pada lingkungan tertentu dan tidak merakyat.   

Apakah NU, khususnya NU Sulsel sudah meresapi cara KH Wahab Hasbullah ketika memegang kekuasaan? Waktulah yang akan menjawabnya. Tetapi akhir-akhir ini terlihat, entah itu hanya dari pengamatan saya yang terbatas, semakin NU (Sulsel) berada di berbagai pusat kekuasaan, ruang-ruang bersama rakyat semakin ditinggalkan. Lailatul ijtima  lebih senang dilakukan di instansi tertentu,  di markas KODAM atau  di rumah jabatan Walikota dan Gubernur. Jarang lagi warga biasa disapa melalui Lailatul Ijtima ini. Mesjid yang dulu dijadikan sebagai pusat pergulatan sosial umat, kini diisi oleh kelompok lain. Jangan heran ketika Litbang Agama Makassar pada 2018 silam melakukan penelitian “Preferensi Keagamaan Remaja Masjid di Makassar”, tiba-tiba ada kecenderungan remaja itu sudah berubah haluan keagamaannya dan cenderung radikal.

Belakangan pengobatan yang bersifat supranatural, yang dulunya merupakan ranah NU membangun ikatan emosi lebih dalam dengan rakyat,  juga  telah diambil alih oleh kelompok salafi puritan. Mereka mengambil alih pengobatan ala Nabi yang dikenal dengan ‘rukyah’. Kelompok ini mengorganisir sedemikian rupa cara-cara pengobatan ini, sehingga berubah dari cara-cara pengobatan kultural menjadi satu industri pengobatan berlabel Islam.

Bahkan ketika berbagai kasus mencuat ke permukaan, seperti peristiwa konflik terunial antara petani-masyarakat adat dengan PT Lonsum, suara NU tidak kedengaran. Saat salah satu pejabat daerah ini memusyrikkan berbagai kegiatan kebudayaan masyarakat, NU terlihat malu-malu bersuara.

Jangan-jangan saat NU semakin bergerak ke pusat kekuasaan, NU mulai melupakan(g) warung kopi. Tempat, yang tadi disaksikan oleh L Peacock sebagai arena pergulatan NU di Sulsel. Dari warung kopi berpindah ke café-café. Dari rumah rakyat bergeser ke restoran. Serta dari surau-surau kampung ke  gedung-gedung bertingkat di kampus.  Dari sanalah kemudian memandang melalui jendela yang sempit. Jika itu yang terjadi, maka NU Sulsel betul-betul melupakan(G); melupakan asal-usulnya dan melupakan khittahnya.

Tak jadi soal NU bergerak di pusaran kekuasaan, tetapi jangan melupakan(G) grass root. Boleh saja semakin mempercantik kantor, memperkuat organisasi dan merapikan administrasi tapi jangan lupakan(G) rakyat NU. Jamiyyah harus kokoh, tetapi jangan melupakan(G)  jemaah. Idealnya  Jamiyyah tertata, jamaah berdaya. Berada di pusat kekuasaan, sembari memberi maslahah. Tetapi andai kata NU diharuskan memilih, maka pilihlah jamaahnya. Biarlah berada di luar lingkaran kekuasaan tetapi dekat rakyat dan memberikan maslahah untuk rakyat.

Ijhal Thamaona

“(LTNNU Sulsel)”
Tags: highlightsNahdlatul UlamaSulawesi Selatan

Berita Terkait

Bedanya Perlakuan KASN Pada Pelanggar Netralitas di Sulsel
Reportase

Bedanya Perlakuan KASN Pada Pelanggar Netralitas di Sulsel

15 Juni 2020
Pecahkan Rekor di Urutan Ketiga Positif Covid, Sulsel Jangan Paksakan New Normal
Reportase

Pecahkan Rekor di Urutan Ketiga Positif Covid, Sulsel Jangan Paksakan New Normal

12 Juni 2020
Tagihan Listrik Membengkak, DPRD : Sama-sama Jaki
Reportase

Tagihan Listrik Membengkak, DPRD : Sama-sama Jaki

11 Juni 2020
Bodoh Amat dengan Virus Corona, Warga Kompak Tolak Rapid Test
Reportase

Bodoh Amat dengan Virus Corona, Warga Kompak Tolak Rapid Test

9 Juni 2020
Reportase

New Normal, Protokol Kesehatan Jadi Gaya Hidup Baru di Tengah Pandemi

27 Mei 2020
Kebijakan “Karet”, Ancaman Besar Ledakan Virus Corona Saat Lebaran
Reportase

Kebijakan “Karet”, Ancaman Besar Ledakan Virus Corona Saat Lebaran

20 Mei 2020
Berita Selanjutnya

Dewan Pengetahuan AksaraINTimes.id Menyapa Anda

AKSARA POPULER

Mengenal Bapak Demokrasi Indonesia

Mengenal Bapak Demokrasi Indonesia

5 Februari 2020
Kelalaian Mengawasi Anak Tidak untuk Dimaklumi

Kelalaian Mengawasi Anak Tidak untuk Dimaklumi

22 Januari 2020
IMB SPBU

Penolakan Masyarakat Atas Pembangunan SPBU yang Tak Miliki Amdal

18 Desember 2019
Ironi Adat kajang : Baju leleng,Tanah dan Pengharapan

Ironi Adat Kajang: Baju Le’leng, Tanah dan Pengharapan

29 September 2019
Ilustrasi Kekerasan Terhadap Anak

Menyoroti Kekerasan Terhadap Anak di Awal Tahun, Apa Akar Masalah Sesungguhnya?

5 Februari 2020

PILIHAN EDITOR

Si Tukang Meubel Jadi Presiden

Si Tukang Meubel Jadi Presiden

5 Februari 2020
Surat Cinta Untuk Ibu, Cara Smart School Makassar Memperingati Hari Ibu

Surat Cinta Untuk Ibu, Cara Smart School Makassar Memperingati Hari Ibu

23 Desember 2019
Kolektifitas, Kekuatan Utama DPRD

Kolektifitas, Kekuatan Utama DPRD

29 Agustus 2019
Hajatan Anak Rektor Tutup Jalan Berpotensi Gugatan Hukum

Hajatan Anak Rektor Tutup Jalan Berpotensi Gugatan Hukum

22 Februari 2020

Tentang Kami

AksaraIntimes.id

AksaraINTimes - Sudut Berbeda, Membangun Perspektif.

Follow us

Kategori

  • Aksara Opera
  • Editorial
  • Intermedia
  • INTimes
  • Metafora Budaya
  • Negeri Suara
  • Nonima
  • Opini
  • Parlemen Affairs
  • Podcast
  • Reportase
  • Seputar Pemilu
  • Surat untuk Redaksi

Terbaru

  • Kunjungi Rumah Penghafal Alquran, Chaidir : Kami Akan Naikkan Insentifnya
  • Konvensi Mutu Semen Tonasa, Tampilkan Karya terbaik Dari Para Karyawan
  • Puto Arham dan Bagaimana Anrong Gurua menerjemahkan Pesan Ammatoa Kajang
  • Chaidir Syam-Suhartina Gencar Salurkan Bantuan Kemanusiaan ke Lutra

Kontak Kami

Phone/WA : +6287758082119
Email : redaksi@aksaraintimes.id
Alamat Redaksi : Ruko New Zamrud, A6, Jl. Topaz Raya, Masale, Kec. Panakkukang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90231

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Kolaborasi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer

© 2020 AksaraINTimes.id - Dev by Domainweb.id.

Tidak ada hasil
Tampilkan Semua Hasil
  • Beranda
  • Intermedia
    • Reportase
    • Editorial
    • Aksara Ads
  • Negeri Suara
    • Seputar Pemilu
    • Parlemen Affairs
  • Aksara Opera
    • Metafora Budaya
    • Opini
    • Nonima
  • Covid-19
  • KIRIM ARTIKEL

© 2020 AksaraINTimes.id - Dev by Domainweb.id.

SELAMAT DATANG

Masuk dengan Facebook
Masuk dengan Google+
Atau

Masuk ke akun Anda di bawah ini...

Lupa Kata sandi.?

Buat akun baru!

Isi formulir di bawah ini untuk mendaftar

Semua bidang yang diperlukan. Masuk

Ambil kata sandi Anda.

Silakan masukkan nama pengguna atau alamat email Anda untuk mengatur ulang kata sandi Anda.

Masuk