SAYA BERSAMA FOTOGRAFER tengah duduk santai dalam gua di Leang Bulu Sipong 4, Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan pada pertengahan Oktober 2019. Siang itu, kami menyambangi sekelompok peneliti Arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas) yang tengah memonitoring keadaan gua prasejarah tersebut.
Kami duduk tepat di ceruk tertinggi gua. Riak teduh angin, sinar matahari hangat dan pemandangan sekitar nampak sangat jelas. Pepohonan, padang, dan gua lain yang berada di ujung tebing terlihat dari lokasi duduk kami.
Saya lantas membayangkan bagaimana manusia purba memantau hewan buruan dari ketinggian itu. Sekadar ngaso sambil mengasah ujung tombak mereka. Ataupun jika mereka tengah bosan, mereka bisa saling menyapa tetangga mereka. Di tempat tenang itu saya menyadari satu hal: gua memang tempat nyaman untuk menetap.
Apa manusia purba penghuni gua juga merasakan nyamannya rumah mereka? Tak ada yang tau. Tapi yang pasti manusia purba telah tinggal selama puluhan ribu tahun lamanya di gua mereka. Jauh lebih lama ketimbang nenek monyang kita mulai membangun rumah.
Meski begitu, penghuni gua telah lama berpindah atau mungkin saja mati, meninggalkan lukisan cadas dan tulang belulang mereka. Tinggalan mereka mendorong kita mencari tahu asal-usul kehadiran manusia di Sulawesi.
Masa yang Begitu Lampau
Sejumlah pakar menyakini Homo Erectus telah tiba di Nusantara sekitaran 1,3 juta tahun yang lalu. Namun persebaran mereka terbatas untuk wilayah barat saja: Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Sementara wilayah timur atau yang dikenal sebagai kawasan Wallacea–Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara–belum ditinggali manusia. Alasannya, palung dalam antara kedua kawasan tersebut membatasi migrasi manusia purba.
Pengetahuan awal menjelaskan, Homo Sapiens (manusia modern) baru tiba di Sulawesi 50.000-60.000 tahun silam. Namun pemahaman itu berubah kala ditemukannya fosil Homo Floresiensis di Kolosege, Flores yang berumur sekitar 1 juta tahun. Kemudian ditemukan pula pula fosil di Cagayan, Filipina yang berumur sekitar 700.000 tahun silam.
Penemuan itu mengubah banyak hal, termasuk pemahaman mengenai kedatangan awal manusia di kawasan Wallacea yang rupanya lebih jauh dari perkiraan sebelumnya.
Bagaimana dengan manusia purba di Sulawesi? Apa mereka telah tiba di masa yang sama 1 juta tahun lalu? Peneliti masih terus mencari tau. Namun sejauh penemuan, tinggalan manusia purba di Sulsel paling jauh diperkirakan berumur 118.000–200.000 tahun lalu. Penemuan itu dilaporkan Gerrit D. van den Bergh, arkeolog dari Universitas Wollongong, Australia yang termuat dalam jurnal Nature Earliest hominin occupation of Sulawesi, Indonesia [2016].
Bergh yang meneliti situs arkeologi di Desa Talepu, Kecamatan Lilirilau, Soppeng pada tahun 2007-2012 menemukan setidaknya 200-an artefak alat batu kuno berumur 118.000–200.000 tahun. “Pasti manusia purba yang membuat alat-alat batu ini,” tulis Bergh.

Penemuan Bergh begitu penting, penemuan tersebut membalikkan pandangan sebelumnya bahwa manusia baru pertama kali tiba di Sulawesi antara 50.000–60.000 tahun lalu. Penemuan itu juga menunjukkan bahwa spesies manusia purba nampaknya lebih awal menghuni pulau Sulawesi jauh sebelum Homo Sapiens tiba kemudian.
Apakah kehadiran mereka bisa dikatakan sebagai gelombang migrasi pertama? Pakar masih memperdebatkan. Tapi temuan itu memaksa pakar menuliskan ulang sejarah awal manusia di Sulawesi.
Budianto Hakim dari Balai Kajian Arkeologis (Balar) Sulsel yang memimpin penelitian lanjutan tahun 2019 di situs arkeologis Lembah Wallenae, Soppeng mungkin saja akan mengungkap hunian awal manusia di Sulawesi yang lebih lama lagi. Sejauh penemuannya, secara geologis ia telah menemukan lapisan kebudayaan berumur 500 ribu-2 juta tahun.
“Sekarang saya menguji lapisan itu dengan alat batu dengan beberapa fosil binatang seperti hiu, buaya, saya kirim ke Australia untuk menentukan itu,” katanya saat ditemui di Balar Sulsel, akhir November 2019.
Budi mengatakan, penanggalan umur hasil temuan timnya baru diketahui tahun depan. Namun setidaknya, kata Budi, temuan itu akan mengungkap hunian awal manusia di Sulawesi di masa 1 juta-500 ribu tahun lalu.
Budi menyakini, Sulawesi telah dihuni manusia purba semasa dengan manusia di Flores dan Filipina. Menurutnya, kala gelombang migrasi, Sulawesi tidak mungkin dilewati begitu saja. Pasti, kata Budi, di masa yang sama Sulawesi pun sudah dihuni manusia purba awal tersebut.

Tapi ke mana perginya manusia purba awal ini? Apakah mereka meninggalkan pulau Sulawesi? Atau mereka punah? Tak ada yang tau. Sejauh ini, tak ada satupun fosil mereka yang ditemukan.
Sapiens Tiba, Menemukan Rumah Nyaman
Pasca temuan Bergh dan timnya, terdapat babak yang panjang dan kosong mengenai asal-usul kita di Sulawesi. Tak ada lagi bukti-bukti yang ditemukan di masa setelahnya. Prasejarah kita mesti melangkah dan meloncat jauh di masa puluhan ribu tahun. Kala manusia yang tanpa diketahui secara pasti perkembangannya tetiba telah mampu melukis pada dinding gua.
Semasa 60.000 tahun silam, gelombang manusia modern yang kemudian dikelompokkan sebagai ras melanesia tiba di Nusantara melalui jalur darat Selatan Asia. Migrasi itu adalah lanjutan gelombang migrasi besar-besaran manusia modern yang bermula dari Afrika semasa 100.000 tahun silam kala di akhir zaman es.
Gelombang migrasi kedua ini bergerak langsung dari Afrika ke Nusantara. Ciri manusianya yakni berkulit hitam dan rambut keriting. Jejak yang bisa dilihat kini pada masyarakat Papua, Maluku, dan Flores. Gelombang ini dikenal sebagai pra-neolitik.
Di Sulawesi sendiri, manusia ini diperkirakan telah tiba di masa 50.000 tahun silam. “Mereka pake kano atau mungkin ikut dengan batang kayu kalau arus membawa mereka,” ucap Budi mengenai bagaimana kemungkinan tibanya.
Banyak alasan mengapa mereka bermigrasi, namun dorongan utama adalah untuk mencari makan. Manusia di masa itu masih sangat mengandalkan hasil meramu dan berburu hewan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka mesti menjelajah cakupan wilayah yang sangat luas.
Setibanya, mereka menempati gua-gua sebagai tempat berlindung. Gua prasejarah yang saya sambangi adalah salah satu rumah mereka. Satu dari ratusan gua yang tersebar di daerah karst Maros-Pangkep, Sulsel. Entahlah jika mereka memang menganggapnya sebagai rumah nyaman.
Namun di gua-gua itu jejak kehadiran manusia terekam dengan indah pada lukisan di dinding-dinding gua prasejarah. Sisa-sisa kebudayaan mereka adalah satu-satunya cara kita mengenal mereka.
Maxima Auberts, Arkeolog Universitas Griffith, Australia dan timnya baru-baru ini menemukan lukisan purba tertua di Sulawesi pada situs Leang Bulu Sipong 4, Pangkep.
Lukisan yang tampak memperlihatkan seekor anoa sedang diburu sekelompok figur setengah manusia dan setengah hewan dengan tombak dan tali itu diketahui berumur 44.000 tahun. Beberapa peneliti bahkan memperkirakan lukisan purbakala itu adalah kisah terekam yang tertua di dunia.

Temuan tersebut termuat dalam jurnal Nature Earliest hunting scene in prehistoric art [2019] oleh tim tim peneliti dari Universitas Griffith, Australia bersama peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasioanal Indonesia pada Desember 2019. Penanggalan tersebut semakin mendukung jejak kehadiran manusia di Sulawesi yang lebih jauh lagi.
Untuk mendukung kehidupan mereka, mereka mulai menggunakan alat batu yang tidak diasah atau yang dikenal sebagai mata panah bergerigi (Maros Points) untuk berburu. Mereka juga telah menggunakan alat serpih (mikrolit) yang digunakan untuk memotong daging hasil buruan. Api telah digunakan di masa itu, mereka pun telah mengenal pengasapan yakni cara kuno untuk mengawetkan daging.
Di masa itu, babi merupakan makanan yang paling banyak ditemukan di sisa-sisa dapur mereka. Selain itu, banyak juga tulang anoa, kuskus, tikus, dan kerang-kerangan. Dua hewan yang ditulis pertama adalah gambar yang paling banyak ditemukan pada gua-gua.
Apakah mereka hidup bahagia pada gua mereka? Mungkin saja kata Budi. Sebabnya manusia di masa itu memiliki banyak sekali waktu luang. Berbeda dengan gelombang migrasi setelahnya yang mesti menghabiskan banyak waktu untuk bekerja.
“Kalau mereka sudah makan, banyak ngasonya di dalam gua. Lebih banyak waktu luangnya karena mereka belum terorganisir, tidak terlalu ambisi mereka, cukup makan dan secukupnya,” kata Budi.
Manusia Petani
Meramu dan berburu adalah corak utama kehidupan orang-orang melanesia di masa itu. Cara bertahan hidup yang memegang rekor terlama sepanjang sejarah manusia. Tak ada yang berubah dengan cara itu selama puluhan ribu tahun, mulai dari manusia yang pertama kali menginjakkan kaki di Sulawesi hingga puluhan ribu generasi setelahnya. Jika ingin bertahan hidup, meramu dan berburu adalah kunci.
Namun di masa yang tak pernah terbayangkan oleh orang-orang melanesia, cara bertahan itu rupanya tak mampu bersaing dengan pendatang baru ke wilayah mereka. Orang-orang melanesia kalah dalam peperangan, kalah perebutan sumber daya hingga akhinya terdesak ke Timur lebih jauh.
Pendatang baru itu kemudian kita kenal sebagai ras mongoloid yang tiba di Nusantara 4.000 tahun lalu dari dataran Taiwan. Mereka datang dengan pengetahuan yang lebih maju. Ciri khas pendukung kebudayaan ini adalah membawa teknologi tembikar.
Di Sulawesi, jejak kehadiran mereka diketahui tiba pertama kali Kalumpang, Mamuju dan Mallawa, Maros. Untuk di Kalumpang, orang-orang mongoloid ini telah membuat perkampungan, sementara di Mallawa mereka lebih memilih gua sebagai tempat tinggal, menyingkirkan para penghuni gua sebelumnya. Mereka turut melukiskan gambar-gambar pada dinding gua.
Berbeda dengan orang-orang melanesia, mereka bertahan hidup dengan mengandalkan hasil pertanian dan berburu. Kemampuan yang menjadi keuntungan besar bagi mereka dalam persaingannya dengan orang-orang melanesia.
Iwan Sumatri, Kepala Laboratorium Arkeologi Unhas mengatakan dengan bertani dan beternak, orang-orang mongoloid memiliki stok makanan yang banyak dan stabil. Dengan makanan berlebih itu, populasi dengan sendirinya meningkat.

“Surplus itu kemudian dipake untuk mengembangkan diri lebih besar karena ada waktu mereka untuk bersenda gurau, bisa berkesenian, juga bisa memproduksi anak,” kata Iwan.
Mulanya, kedatangan ras ini juga menempati gua di pegunungan karst Maros. Peninggalan lukisan dalam gua pun ada juga dibuat oleh mereka. Namun berselang lama–Iwan tak menyebut tahun–penghuni gua ini mulai meninggalkan gua dan membangun kampung-kampung kecil.
“Setelah Mongoloid dari gua, mungkin bosan saya tidak tau, tapi kemudian dari gua dan hidup diperkampungan kecil yang mereka bikin. Kalau Austro-Melanesia memang hidup di gua terus,” ucap Iwan.