Makassar, AksaraINTimes.id – Kasus pengeroyokan guru di Gowa, Sulawesi Selatan segera menjadi perhatian publik belum lama ini. Astiah, seorang guru SD Negeri Pa’bangiang, Gowa menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang tua siswa, RA (43) bersama NV (20) dan APR (17).
Dalam video pemukulan yang sempat tersebar di media sosial (4/9/2019), nampak NV dan APR menyerang Astiah di depan para murid. Akibatnya, Astiah mengalami luka pada bagian wajah akibat dicakar.
Pasca dikonfirmasi, rupanya pemicu penyerangan itu lantaran RA tak terima jika guru wali kelas tersebut tidak memberi hukuman fisik kepada siswa yang telah memukul anaknya sehari sebelumnya.
Tak menerima pengeroyokan tersebut, Astiah melapor ke pihak berwenang. Ketiga pelaku pemukulan lantas ditetapkan sebagai tersangka oleh Kapolres Gowa.
Kasus kekerasan kepada guru bukanlah hal baru lagi di Indonesia. Pengeroyokan guru di Gowa hanya menambah rentetan kasus kekerasan yang pernah dialami para guru.
Khusus di Sulawesi Selatan, dalam kurun tiga tahun terakhir saja, berdasarkan pantauan media, sedikitnya terdapat 6 kasus kekerasan guru yang pernah terpublikasi.
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli, saat dihubungi, Senin (9/9/2019) punya jawaban sederhana atas banyaknya kekerasan yang dialami guru. Menurutnya, satu hal yang ia yakini, kata Ramli, pemerintah tak memberikan perlindungan yang cukup kepada para guru.
Ia melanjutkan, meskipun perlindungan tersebut telah tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2015, tetapi menurutnya, implementasi penerapan aturan masih jauh panggang dari api. Pengantar jawaban yang menyakinkan dari Ketua IGI.
Namun rupanya saat ditanya lebih jauh argumen itu, Ramli tak bisa memberi jawaban jelas. “Perlindungan disebutkan tapi hanya di atas kertas, minim implementasi,” jawabnya singkat kemudian.
Ia lantas segera menambahkan, faktor kekerasan lain yakni minimnya upah yang diterima para guru, sehingga masyarakat malah memandang “rendah” profesi guru. Imbasnya, guru menjadi kelompok yang rentan mengalami kekerasan oleh pihak lain.
“Maka itu orang tua memandang mereka rendah dan pemerintah sampai kini belum juga peduli dengan hal tersebut,” balasnya.
Ia pun menunjukkan kejengkelannya kepada para pelaku kekerasan terhadap guru. Ia meminta, bahkan jika perlu, kekerasan terhadap guru mesti dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa hingga berujung sampai hukuman mati.
Lantas apa dengan pemenjaraan pelaku, permasalahan kekerasan kepada guru bisa dikatakan selesai? Atau dengan kenaikan gaji guru menjamin masyarakat akan memandang dan menghargai mereka?
Akar Masalah Lebih Rumit
Tak puas dengan jawaban dari Ketua IGI, tim AksaraINTimes.id lantas menemui Usman Djabbar selaku Ketua Komunitas Guru Belajar (KGB) Makassar, di Pallangga, Kabupaten Gowa, Selasa (10/9/2019) untuk meminta keterangan lebih jauh.
Omenk, begitu ia disapa, justru melihat kasus kekerasan yang dialami oleh beberapa tenaga pendidik di Indonesia, beberapa tahun belakangan ini, hanyalah puncak dari akar masalah yang lebih kompleks lagi di dunia pendidikan.
Ia mengatakan kasus pengeroyokan seperti yang terjadi di SD Pa’bangngiang, Gowa, layaknya fenomena gunung es, yakni kasus kekerasan yang hanya memperlihatkan sebagian kecil masalah, padahal jauh ke bawah, justru akar permasalahan tak tertangani dengan baik.
“Kekerasan itukan punya sejarah yang panjang, artinya apa yang terjadi dialami oleh teman-teman kemarin itu kan bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi berbagai macam variabel-variabel yang terjadi sebelumnya yang kemudian kira-kira membuncah kemarin itu,” paparnya.
Ia mengatakan, semua pihak yang terkait yakni guru, orang tua murid, instansi sekolah, hingga berlanjut ke pemerintah adalah pihak yang bersalah atas terjadinya kekerasan tersebut. Namun, katanya, guru di satu sisi juga bisa menjadi korban jika mengacu pada kasus kekerasan sebelumnya.
Mengapa mereka? Kata Omenk, karena tiap pihak tersebut punya andil yang besar melanggengkan ataupun membiarkan siklus kekerasan di sekolah. Sementara si murid, ia nilai hanyalah sebagai korban.
Ia menjelaskan, faktor pendorong kekerasan bisa terjadi di sekolah adalah karena sudah tidak adanya kepercayaan antara pihak sekolah dengan orang tua murid. Sehingga, orang tua selalu merasa was-was jika anaknya dititipkan di sekolah. Begitupun sebaliknya, guru merasa tidak mendapat dukungan dari orang tua anak didiknya.
“Pertama itu adalah kepercayaan, orang tua percaya dengan sekolah. Masih terbangun gak kalau sekarang? Orangtua kira-kira sekarang masih percaya gak dengan sekolah?” ujarnya.
Namun ketidakpercayaan tersebut juga bukan terjadi secara alamiah begitu saja. Banyak faktor kata Omenk, namun tak adanya sistem yang dibangun oleh pihak sekolah maupun pemerintah memfasilitasi kedua pihak antara orang tua siswa dan sekolah punya andil besar atas hubungan ketidakpercayaan itu.
Di sinilah keteledoran pihak sekolah dalam membangun hubungan komunikasi yang baik kepada orang tua siswa.
“Kapan terakhir kali sekolah melakukan pelibatan terhadap orang tua? Kapan terakhir kali? Kalau pun misalnya, itu terjadi sekali satu bulan, sekolah menginisiasi mengundang orang tua untuk masuk sekolah sekali sebulan, bukan hanya ketika terjadi konflik,” ucapnya.
Ia mengatakan, hubungan emosional antara sekolah dan orang tua siswa yang renggang menstimulus penyelesaian permasalahan di sekolah dengan cara kekerasan. Hal itu juga diperparah jika orang tua siswa, kata Omenk memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
“Sekarang ini kan menjadi aneh, orang tua itu kadang-kadang diajak masuk sekolah ketika misalnya terjadi kekerasan, lakukan dialog, lakukan pertemuan, lakukan kolaborasi dan sebagainya. Tidak pernah ketika masa aman,” ucapnya.
Pernyataan ini juga turut dikuatkan oleh pengamat sosial Universitas Hasanuddin (Unhas), Rahmat Muhammad saat ditemui, di Warung Kopi Al, Toddopuli, Selasa siang (10/9/2019).
Mantan Wakil Dekan III Fakultas FISIP Unhas tersebut menilai, kerenggangan hubungan antara guru dan orang tua murid adalah penyebab mudahnya terjadi kekerasan seperti kasus pengeroyokan guru SD di Gowa.
Padahal, kata Rahmat, jika ada komunikasi yang baik, setidaknya, orang tua yang mendapat pelaporan atas tindakan yang diterima anaknya di sekolah, bisa dibicarakan lebih dulu dengan wali kelas tersebut. Tidak langsung labrak saja.
“Pihak sekolah membuka diri, orangtua melihat kegiatan-kegiatan di sekolah, kemudian buka saluran, kalau ada kegelisahan orang tua, hubungi kontak ini, atau orangtua juga menyerahkan kontak ini, sehingga komunikasi itu bisa dilakukan,” ucapnya.
Ia mencontoh dampak kerenggangan hubungan, misal saja sang guru menegur siswa untuk berpakaian rapi. Hal itu menurut si guru baik untuk membina perilaku anak. Namun rupanya, di satu sisi, orang tua murid malah menganggap salah metode yang dilakukan sang guru.
Akhirnya karena tak ada komunikasi yang baik, sewaktu-waku sang orang tua murid bisa saja reaktif jika anaknya mendapat perlakukan yang menurutnya merugikan si anak.
“Mungkin juga salah informasi yang diterima, akhirnya orangtua reaktif, maksudnya dia tidak tabayyun, tidak mau tau langsung tiba-tiba labrak, padahal itu sama sekali disayangkan,” ucapnya.
Sekolah Bukan Pabrik Penitipan Anak
Pemahaman orang tua akan lembaga pendidikan seperti sekolah juga dianggap masih salah kaprah. Banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah, lalu menyerahkan sepenuhnya kepada guru untuk mendidik si anak, sembari orang tua berharap hasilnya seperti yang mereka bayangkan.
“Kita ini guru hanya katakanlah anak-anak selama tiga tahun di SMA diberikan tugas untuk mengubah persoalan yang sebenarnya sudah enam-delapan tahun yang lalu itu kemudian bertumpuk bertumpuk,” ujar Usman Djabbr kembali melanjutkan.
“Jadi ada anak-anak yang memang seakan akan dia sudah menjadi kebiasaan di lingkungan rumah dan temannya. Yang kemudian dibawa masuk di sekolah yang kemudian seakan-akan kita ini guru seperti mesin, ubah ko ini,” tambahnya.
Pemahaman ini cukup menyesatkan, kata Usman, peranan orang tua bukan hanya mengantar anak sampai di pagar sekolah namun proaktif bersama guru dalam memenuhi kebutuhan didik anak.
“Seharusnya itukan rutin, rutin antara sekolah dan masyarakat, antara sekolah dan keluarga, melakukan apa yang kira-kira – titik fokusnya adalah untuk kebaikan anak kita,” ucapnya.
Ia membeberkan, berdasarkan hasil penelitian, guru hanya mampu maksimal memberi pengaruh kepada anak sebanyak 14 persen, sementara sekolah hanya 26 persen, sisanya yakni dari keluarga dan lingkungan. Sehingga peranan orang tua sebenarnya justru lebih besar dalam membentuk perilaku si anak.
Karena besarnya pengaruh keluarga dan lingkungan tersebut, banyak anak yang malah mencontoh perilaku tidak baik orang tua di rumah, lalu turut membawa karakter tersebut ke sekolah. Ia menilai, anak “nakal” kepada guru, bisa saja karena faktor adopsi perilaku tersebut.
“Jadi faktor kurang ajar bukan sesuatu yang juga muncul tiba-tiba, tapi dia merupakan bentukan dari awal, proses yang lama sekali.”
Guru Juga Turut Bersalah
Guru pun tak lepas dari kompleksitas akan permasalahan tersebut. Menurut Omenk, guru secara tidak sadar juga kerap mempertontonkan contoh perilaku kekerasan kepada murid. Padahal si murid selalu mengadopsi perilaku dari apa yang dilihatnya.
Misal saja, ketika seorang guru memanggil si murid dari jarak 10-15 meter dengan nada keras. Hal itu menurut Usman, bisa memperlihatkan kepada si murid contoh yang buruk.
Selain itu, banyak juga guru yang mengangap mengajar hanyalah rutinitas pekerjaan. Masuk sekolah, mengajarkan kurikulum, memberi ujian, lalu kembali pulang. Hal itu, menurut Omenk cermin ketidakpedulian si guru kepada anak didiknnya.
Padahal semestinya, sang guru mesti mengenal si anak lebih jauh lagi. Seperti latar belakang anak: orang tua, ataupun jumlah saudara, sehingga ada pemahaman yang utuh mengenai kebutuhan anak.
“Bahwa ini anak rentan melakukan kekerasan karena berasal dari keluarga apa, oh ini anak sangat awas loh untuk melakukan kekerasan karena – katakanlah – lingkungan keluarganya yang sangat mendukung ia untuk melakukan itu,” ujarnya.
“Sekali lagi, ini akar masalah yang panjang dan harus diretas satu persatu, dikaji ulang satu per satu, bagi saya selaku guru juga memang harus selalu merefleksi, atau bagi pihak sekolah lah,” tandasnya.(**)