Akhir-akhir ini, klaim kepemilikan Cina atas Pulau Natuna Utara di kepulauan Riau, yang jelas-jelas masuk dalam wilayah kekuasaan Indonesia, heboh dibicarakan di berbagai platform media mainstream dan media sosial.
Spontan, kehadiran Cina di Natuna mendapat respon yang beranekaragam dari pihak Indonesia. Ada yang menanggapi dengan kepala panas, adapula yang menganggapnya biasa-biasa saja dengan dalih menjaga keamanan dan persahabatan kedua negara.
Mereka yang merespon dengan kepala panas, adalah yang menganggap kedaulatan negara sendiri diusik oleh negara lain. Sehingga, dengan penuh percaya diri, mereka menginginkan agar Cina segera angkat kaki dari Natuna. Selain itu, muncul pula ketakutan akan hadirnya negara penjajah baru di tubuh Indonesia yang telah—menganggap diri—merdeka dari penjajahan di masa lalu oleh negara-negara lain.
Sedangkan yang merespon dengan kepala cool dan calm, adalah mereka yang menginginkan persahabatan antara kedua negera tersebut—yang telah terjalin lama, tidak terusik dan juga tidak mengganggu harmonisasi jalur investasi keduanya. Kita ketahui Cina merupakan negara ke tiga, yang cukup berkontribusi terhadap investasi di Indonesia sejauh ini, setelah Singapura dan Jepang.
Kedua respon tersebut kiranya tidak sepenuhnya salah dan juga benar. Sebuah kewajaran untuk merasa tidak nyaman jika hak sendiri diakui oleh orang lain, apalagi kita punya bukti kepemilikan secara hukum.
Kehadiran Cina di Natuna Utara akhir-akhir ini bukanlah kali pertama. Maret 2017 lalu, sebelas nelayan asal Cina ditangkap karena menangkap ikan secara ilegal oleh pihak Indonesia. Padahal, pihak Cina tahu betul bahwa Natuna Utara adalah milik Indonesia, sesuai hukum laut internasional.
Bahkan sampai tulisan ini dibuat, Cina masih berada di pulau Natuna Utara dan tetap melakukan aktivitas menangkap ikan. Dan sampai saat ini pula, tanggapan, kecaman, bahkan kritikan dari beberapa pihak terhadap pemerintah Indonesia yang kurang tegas dalam menindaklanjuti perkara ini, terus digalakkan.
Kepemilikan Indonesia atas pulau Natuna Utara, termaktub dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau perjanjian Hukum Laut Internasional PBB. Namun, mungkinkah setiap negara taat terhadap hukum, atau paling tidak, mampu bersikap toleran terhadap hukum yang dianut oleh sebuah negara? Hampir dapat dipastikan bahwa sebahagian tidak demikian. Jangankan menyoal toleransi negara terhadap hukum dari negara lain, yang membuat hukum pun, kerapkali mereka sendiri yang justru melanggarnya.
Permasalahan seperti itu mungkin bukan lagi pemandangan yang asing di suatu negara. Misalnya, sebuah negara menjunjung tinggi hukum tentang hak-hak asasi warga negaranya, seperti hak kebebasan berpendapat dan hak kepemilikan atas perkara. Akan tetapi, acapkali negara sendiri yang melakukan pembungkaman kebebasan, bahkan perampasan hak atas tanah dari warga negaranya dengan beranekaragam pembenaran. Dalih demi ketertiban dan keamanan negara misalnya.
Bagaimana dengan Perampasan Hak oleh Bangsa Sendiri?
Tentu saja, adalah kondisi yang tidak menyenangkan saat hak atas kepemilikan kita diklaim oleh bangsa lain. Namun, bagaimana jika hak tersebut justru dirampas bangsa sendiri? Bagaimana dengan kasus perampasan tanah atau penggusuran yang terjadi di sekeliling kita yang bahkan menelan korban jiwa?
Sebagai contoh, peristiwa yang baru-baru ini terjadi yakni penggusuran Tamansari di Bandung. Seperti yang dituliskan Nanang Kosim dalam esainya di Mojok.co, terkait penggusuran Tamansari dan cara Pemkot Bandung tabrak semua hukum. Dua pihak yang bertikai saling klaim, antara warga dan pihak pemkot, namun keduanya tidak memiliki sertifikat. Kendati demikian, yang akan menjadi pemenang, seperti biasanya, yakni pihak yang memiliki kekuatan.
Meskipun kedua pihak tak memiliki sertifikat, berkat kekuasaan dan kekuatan, pemkot mampu mengobrak-abrik rumah warga dan sah di mata hukum. Dari sini, kita dapat melihat bahwa kebenaran akan lunak di mata kekuatan. Kebenaran tidak mampu memengaruhi sistem atau hukum. Kekuatanlah yang mampu.
Bukan hanya di Tamansari kita dapat menjumpai runtuhnya sebuah produk hukum di negara hukum. Beberapa kasus penggusuran lainnya, yang juga terjadi di tanah air, pun demikian. Kondisi seperti inilah yang dibahasakan oleh Bourdieu sebagai Man is a plastic man. Bahwa di dalam sebuah kekuasaan tidak ada manusia yang bermoral. Jika sistem jahat, maka manusia di dalamnya akan ikut menjadi jahat begitupun sebaliknya.
Di antara mereka yang menginginkan tindakan tegas pemerintah Indonesia terhadap Cina, dengan alasan perampasan hak, bisa jadi, justru motor penggerak kasus penggusuran di tanah air. Di mana tanpa mereka sadari—atau pura-pura tak sadar, juga masuk dalam kategori perampasan hak.
Sedangkan mereka yang beranggapan bahwa kehadiran Cina di Natuna Utara tidak perlu dibesar-besarkan, karena akan mengganggu investasi Cina ke Indonesia dan mengusik jalinan harmonis keduanya, justru mungkin saja membuat pihak Cina semakin sewenang-wenang karena merasa Indonesia tidak bisa hidup tanpa Cina.
Pembangunan di Indonesia Sebenarnya untuk Siapa?
Seperti yang dibahasakan sebelumnya, bahwa memang Cina merupakan negara yang memiliki peran penting dalam inject investasi ke Indonesia. Negara yang memiliki hutang di atas rata-rata, tentu mengharapkan penanaman modal dari negara lain untuk tetap menjaga stabilitas perekonomiannya.
Selanjutnya, negara yang menanamkan investasi tentu juga mengharapkan feedback berupa keuntungan. Indonesia, dalam hal ini, sebagai negara penerima investasi harus menjamin keuntungan tersebut. Misalnya dalam pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan ekonomi. Kita ketahui untuk melakukan proses pembangunan, Indonesia membutuhkan ruang beserta alat dan bahan.
Cina menjadi negara penyedia alat atau bahan industri dan teknologi. Indonesia menjadi pembeli. Di sinilah keuntungan awal bagi pihak Cina yang telah memberikan investasi terhadap Indonesia sebelumnya.
Selanjutnya ruang pembangunan. Indonesia pastinya memerlukan tanah untuk membangun infrastruktur—demi kepentingan investasi pula, sehingga pembebasan ruang atau lahan menjadi keharusan. Tak pelik, penggusuran pun dilakukan tanpa memedulikan hak dan kebutuhan masyarakat atas tempat tinggal. Janji ganti rugi—sekarang diubah jadi “ganti untung”—dan relokasi ke tempat yang lebih baik seringkali tak sepadan.
Setelah ruang untuk pembangunan diperoleh, maka secara resmi bangunan-bangunan pencakar langitpun didesain sedemikian rupa. Siapapun yang menghalau proses pembangunan tersebut, akan dengan mudah dianulir sebagai pengganggu stabilitas dan keamanan. Para agen represif pun siap menjalankan tugasnya, dikarenakan dalih pembangunan tersebut adalah untuk pertumbuhan sekaligus pembangunan ekonomi negara.
Tak sampai di situ, setelah pembangunan selesai, orang-orang asing juga berdatangan untuk menjadi pekerja, sementara pribumi semakin tergeser dari wilayahnya sendiri. Proses seperti ini akan terjadi secera terus menerus.
Dengan fenomena demikian, benarkah pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia? Atau, pembangunan ekonomi ini sebenarnya hanya “dilakukan di Indonesia” namun dimiliki atau dikelola oleh orang-orang dari negara lain?
Penulis: Askar Nur
Editor: Dian Kartika