ARDHIE RADITYA dalam opininya bertajuk Tragedi Pendidikan Seni di Era Globalisasi, yang dimuat di JawaPos.com, mempertanyakan tentang mengapa pendidikan seni di negeri ini masih dipandang sebelah mata? Padahal, urusan pendidikan bukan semata-mata rumus eksakta. Bukan pula sebatas urusan menguasai teknologi belaka. Setiap manusia muda memiliki bakat alami yang mesti diaktualisasikan. Lembaga pendidikan di negeri kita seharusnya memberikan wadah dan infrastrukturnya.
Kendati demikian, bukan hanya pendidikan seni dewasa ini di ambang degradasi dari segi orientasi, melainkan pula pendidikan orientasi sosial dan humaniora, atau bahkan hakikat pendidikan itu sendiri. Sebagaimana diketahui, sebagai arena pengolahan dan pengasahan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual terhadap manusia, pendidikan kini tidak lagi berfungsi secara maksimal.
Tak ayal, arena pendidikan menjelma menjadi mesin produksi tenaga kerja yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan dunia industri. Manusia dalam ruang pendidikan dipersiapkan dan diorientasikan semata-mata untuk kepentingan pasar, sehingga hal demikian meniscayakan penyelarasan atau pendisiplinan. Seperti yang dibahasakan oleh Foucault, bahwa pendisiplinan merupakan sebuah mekanisme pembentukan perilaku individu yang taat dan patuh pada serangkaian norma melalui sistem kontrol atau pengawasan terhadap individu.
Sebagai arena pendisiplinan, tentu terjadi ketidaksesuaian terhadap nilai pendidikan yang meniscayakan pengasahan kepribadian menuju pendewasaan. Proses penciptaan kedewasaan manusia berangkat dari pengolahan potensi hingga melahirkan daya kreatif. Namun, itu membutuhkan ruang inklusif yang memegang prinsip kebebasan berekspresi. Kenyataannya pendidikan sebagai arena pendisiplinan tidak memegang mekanisme demikian, dengan alasan kehadiran sebuah aturan, meskipun kebebasan berekspresi tetap disebutkan di dalamnya, sayangnya tidak lain dan tidak bukan ihwal tersebut hanyalah bangunan citra populis.
Isi dari beberapa paragraf di atas sangatlah retoris, bukan? Seperti halnya apa yang disampaikan Nadiem Makarim dalam pidatonya, pada Hari Guru Nasional lalu, bahwa ia sangat tidak menyukai bahasa-bahasa anggun namun tak seanggun di kenyataan. Se-retoris apapun isi paragraf di atas, itu hanyalah sebuah harapan dan yang mampu mewujudkannya dalam kenyataan hanyalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim sebagai pemangku kebijakan tertinggi dalam dunia pendidikan saat ini.
Sejenak merefleksikan isi pidato Mendikbud di peringatan Hari Guru Nasional, 25 November lalu, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menurut hemat saya sangatlah ideal dari segi konsep. Saya tidak ingin mengatakan bahwa poin-poin tersebut sangatlah retoris, karena telah disampaikan sebelumnya bahwa Mendikbud tidak terlalu nyaman dengan bahasa-bahasa serupa namun gagal diterapkan pada kenyataan. Ia lebih memprioritaskan prinsip apa yang diterapkan pada kenyataan dibanding sekadar mengatakan. Tentu itulah yang kita harapkan bersama.
Lima Poin Bernas
Selama beberapa hari sebelum peringatan Hari Guru Nasional digelar, beredar foto yang berisikan pidato Nadiem Makarim di beberapa media sosial. Antara isi pidato dalam foto dengan apa yang disampaikan dalam pidato terbukanya adalah hal yang sama. Termuat lima poin penting dan bernas yang disampaikan; 1) ajaklah kelas berdiskusi bukan hanya mendengar; 2) berikan kesempatan kepada siswa untuk mengajar di kelas; 3) cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas; 4) temukan suatu bakat dalam diri siswa yang kurang percaya diri; dan 5) tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan.
Terhadap apa yang diutarakan oleh Nadiem Makarim dalam pidatonya tersebut kepada para guru, merupakan ihwal yang sangat dibutuhkan di dunia pendidikan kita dewasa ini baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Tentunya, apa yang diutarakanya tersebut kiranya ia akan lakukan ke depannya sesuai pengutaraannya sebelumnya.
Duduk Perkara Nadiem dan Bourdieu
Sebuah kecurigaan, bahwa mungkin saja Nadiem Makarim telah bertemu dengan sosok antropolog sekaligus aktivis pergerakan anti globalisasi Perancis, Pierre-Felix Bourdieu, melalui karya-karyanya sebelum ia mencetuskan lima poin tersebut dalam pidatonya.
Bourdieu mendakukan bahwa pendidikan merupakan ruang di mana kekerasan simbolik marak terjadi, dipicu oleh dominasi melalui kuasa kelas. Dominasi kelas atas (tenaga pendidik) terhadap kelas bawah (peserta didik) akan melahirkan sebuah bentuk kekerasan yang tak terlihat.
Peserta didik sebagai korban kekerasan simbolik, secara otomatis akan kehilangan dirinya dan memposisikan dirinya sebagai individu yang tak mengetahui apapun. Mereka akan menjadi pendengar setia di dalam ruangan, sementara yang memiliki peranan penting adalah para tenaga pendidik sebagai orang yang harus didengarkan. Sehingga lahirlah para generasi muda yang tak tahu-menahu dengan kondisi di mana mereka berada. Yang ada dalam benak mereka adalah melaju ke depan tanpa harus memikirkan proses kehidupan. Merekalah para generasi yang hanya hidup “di dalam” dunia tapi tak “bersama” dunia.

Ditambah lagi dengan dukungan arena beserta aturan-aturannya yang mengharuskan mereka tunduk dan patuh terhadap kondisi. Gambaran seperti ini memiliki kemiripan dengan apa yang dihadapi oleh para tentara baru yang menjalani proses pelatihan perdana dengan pengawalan ketat, barangsiapa keluar dari jalur yang telah ditentukan maka harus menerima konsekuensi berupa hukuman dari sang komandan. Begitupula dengan para peserta didik, siapapun yang tidak mematuhi aturan maka akan diganjar hukuman.
Arena, modal, dan habitus yang dibungkus oleh sebuah aturan berisikan perangkat ideologi dan represif, akan melahirkan sebuah praktik yang meniscayakan agen (manusia) yang selaras dan kehilangan nalar kritis.
Contoh kebijakan umum di perguruan tinggi yang mengharuskan pendisiplinan dan pembungkaman nalar kritis, yakni kebijakan larangan aktivitas malam di kampus seperti yang kini terjadi di banyak perguruan tinggi Indonesia.
Lahirnya kebijakan pelarangan aktivitas malam di kampus, dapat menjadi salah satu jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh Ardhie Raditya di atas. Minimnya ruang kreativitas di dalam kampus secara tidak langsung menjadikan pendidikan seni dan sastra tidak mendapat tempat di hati mahasiswa.
Chairil Anwar, seorang sastrawan sekaligus seniman, dalam puisinya yang berjudul “Prajurit Jaga Malam” nampak sangat memuji kehadiran malam sebagai gerbang mimpi-mimpi manusia. “Aku suka pada mereka yang berani hidup. Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam. Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu”. Sementara itu, Aslan Abidin dalam tulisannya bertajuk “Pentingnya Membaca Sastra”, mengemukakan bahwa sastra memberi kita cukup bekal pengetahuan memadai dan manusiawi semisal tidak narsis dan rendah hati, berjiwa besar dan tidak gampang marah, pemaaf dan tidak kepala batu.
Mendikbud tentu mengetahui polemik terbesar di perguruan tinggi saat ini termasuk kebijakan-kebijakan yang lahir. Sebagai sosok Mendikbud yang tak terlalu bersimpati dengan sebuah konsep besar namun gugur pada wilayah praktek, serta memutuskan untuk melahirkan lima poin bernas dalam pidatonya, maka tentunya ia akan mengimplementasikannya, termasuk dalam ranah polemik kebijakan di beberapa perguruan tinggi yang menjadi marabahaya bagi lahirnya gagasan kritis.
Namun, Mendikbud perlu ketahui, Bourdieu pernah mengemukakan bahwa bahasa menjadi tempat orang-orang tertentu untuk memerintah, membujuk, maupun menyalurkan ambisinya. Bahasa merupakan sentral bagi berlangsungnya kekerasan simbolik dari penguasa. Oleh karena itu, janganlah menjadikan isi pidato tersebut menjadi simbol kekerasan sebab digunakan hanya untuk menyembunyikan serta membiarkan tetap berlangsungnya kekerasan. Termasuk memberikan harapan kepada dunia pendidikan untuk menjadi lebih baik, namun diakhiri dengan pengingkaran.
Editor: Dian Kartika