Komite Panel, AksaraINTimes.id – Berbicara mengenai kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak akan ada habisnya, sepanjang lembaga itu masih eksis seperti sekarang ini. Salah satu yang masih menjadi soal, apakah memang yang menjadi anggota DPR itu sudah paham betul dengan fungsinya? Sebagai perumus Rancangan Undang-Undang Daerah (RUUD), misalnya, bukan lagi rahasia jika banyak dari mereka sebenarnya memiliki kelemahan dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.
Mengapa demikian? Usman Djabbar, seorang aktivis yang aktif di bidang pendidikan, dalam wawancaranya pada Senin (02/09) malam, secara terbuka mengungkapkan bagaimana semberononya proses seleksi terhadap calon-calon anggota legilslatif di Indonesia, utamanya di Sulawesi Selatan ini. Menurutnya, Partai Politik dalam melakukan perekrutan mirip dengan praktik “beli kucing dalam karung”.
“Kita nggak pernah tahu dia pernah punya orang, nggak? Dia pernah bermasyarakat, tidak? Dia ahli dalam apa, tidak? Ukurannya selalu dia bisa mengorganisasi massa atau tidak, dan dia punya uang untuk menggaet suara atau tidak? Sampai sekarang urusannya masih di situ,” kata Usman.
Melihat hal ini, menurut Usman, semestinya metode penyaringan di parpol sudah diubah. Harus ada standar atau persyaratan-persyaratan tertentu untuk dijadikan caleg. Sebab, hal tersebut pasti akan mempengaruhi kinerjanya.
Usman memaparkan, seorang caleg seharusnya tahu bagaimana tugasnya dalam menyerap aspirasi, seperti apa bentuk yang bisa didorong untuk menjadi regulasi baru, serta bagaimana menghubungkan antara satu kepentingan dengan kepentingan yang lain.
“Kalau dia tidak punya kapasitas melakukan itu, kemampuan utama dia hanya mobilisasi orang, kemampuan utama mereka hanyalah uang mereka yang lebih banyak dibandingkan yang lain, maka kecil kemungkinan, kalau misalnya kita kaitkan dengan RUU, kecil kemungkinan banyak RUU yang dihasilkan. Karena yang kita punya adalah caleg yang nggak tahu apa-apa. Saya melihat hampir semua daerah mengalami hal seperti itu.”
Usman Jabbar
Di Sulawesi Selatan, beberapa anggota DPR kemudian didampingi oleh staff ahli. Menurut Usman, tenaga ahli ini adalah orang-orang yang menguasai hal-hal tertentu secara spesifik. Kehadiran mereka mendampingi legislator cukup berpengaruh pada berbagai aspek, misalnya dalam membantu perumusan RUU.
Sayangnya, dalam memilih staff ahli inipun tidak ada kriteria khusus. Padahal, untuk bisa mengajukan RUU, sudah seharusnya jika mereka juga memiliki spesifikasi tertentu. Usman berpendapat, tenaga ahli yang ideal berasal dari kader muda partai politik. Hal ini juga bisa menjadi daya tarik bagi perpolitikan Indonesia.
“Staff ahli akan berfungsi bagus kalau DPRnya juga bagus. Kalau DPRnya kemudian mampu, katakanlah mampu mewujudkan apasih mimpinya, yang kemudian disusun ulang oleh staff ahlinya, maka saya pikir itu kompromi yang bagus sekali. Komparasi yang bagus sekali. Yang susah adalah ada staff ahli yang energik, tapi anggota DPRnya nggak punya inisiatif apa-apa. Itu juga payah,” terang Usman.
Meski demikian, Usman menjelaskan, jika berbicara fungsi atau kinerja, orang-orang umumnya tidak mengenal staff ahli, melainkan siapa anggota DPR saat itu. Menurutnya, kedua perangkat ini berbanding lurus dalam hal tugas yang mereka emban. Pertanyaannya, seberapa efektifkah proses seleksi di parpol mampu memengaruhi kinerja anggota DPR?