“Yang diharapkan mahasiswa dari terpilihya rektor baru UIN Alauddin bukan pemerataan bale-bale mahasiswa, tapi pemerataan jalan depan Kampus UIN Alauddin, Samata.”
Kipanjikusmin, itulah nama seorang penulis muda yang pemalu, pendiam, tak banyak bergaul, dan suka merenung. Nama ini dipakainya untuk menulis sebuah keadaan pada masa pemerintahan Soekarno.
Tulisan satire itu berjudul “Langit Makin Mendung” yang menampilkan Tokoh pemimpin Besar Revolusi Indonesia dengan keadaan yang menari-nari ria bersama para penjilat di dalam Istana, sementara keadaan di luar menggambarkan tokoh sundal tua yang mengerang dan lalat-lalat yang menjijikkan berpesta menghisap nanah.
Yang menarik dari cerita itu bukan berada pada isinya, tapi efek setelah cerita itu tersebar. Ia divonis sebagai sebuah tulisan yang menghina Islam karena membawa-bawa nama Nabi Muhammad yang menjalani perjalanan imajiner ke Indonesia.
Seandainya Kipanjikusmin berkuliah di UIN Alauddin saat ini, mungkin juga ia akan menulis tentang sebuah keadaan yang terjadi di salah satu kampus Islam dengan Jargon Kampus Peradaban. Betapa tidak, pasti juga ia akan risau terhadap keadaan depan kampus yang tidak terurus oleh para pejabat rektorat.
Sudah banyak tulisan yang lahir tentang Sungai Abadi yang diilustrasikan sebagai gambaran jalan Sultan Alauddin, Romangpolong, Kec. Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan itu. Jalan yang selalu dilintasi mayoritas mahasiswa UIN ini digenangi air yang menurut berbagai tulisan dan mahasiswa adalah genangan air yang bersumber dari pembuangan kos-kosan depan kampus.
Genangan air ini sangat menggangu para pejalan dan sudah dibiarkan begitu saja selama beberapa tahun oleh pemerintah, sebuah tulisan mengatakan bahwa genangan air ini termasuk najis karena pembuangan air dari kos-kosan di sekitar jalan tersebut pasti juga ada yang berasal dari buangan air kecil para penghuni kos-kosan.
Sebenarnya mahasiswa tidak berharap pihak kampus yang memperbaiki genangan air di jalan tersebut, tapi pejabat kampus pasti mempunyai jalur komunikasi dengan para pejabat yang berwenang untuk memperbaiki jalanan yang tergenang air dan diklaim bernajis itu. Sudah bukan rahasia lagi, jika para pejabat bernegosiasi dengan sesamanya para pejabat pasti lebih mudah dibanding orang bawah yang membangun komunikasi dengan para pejabat.
Apakah pejabat kampus tidak resah dengan keadaan itu?
Saya membayangkan Kipanjikusmin akan mengatakan karena pejabat kampus itu bermobil, dan pakaian mereka tak akan ternodai dengan air genangan itu. Hal-hal kotor dan menjijikkan memang selalu ditabrakkan dengan orang-orang bawah. Para pejabat tetap asik di atas kendaraannya, tak mengenal jalan berlobang apalagi jalan becek.
Kipanjikusmin yang pernah menulis “Langit Makin Mendung” mungkin akan menulis lagi keadaan tentang langit yang mendung itu, “Tanpa hujan, Jalan tetap Tergenang” dan memasukkan narasi-narasi Islam bahwa Najis akan membatalkan Wudhu, dan batalnya wudhu berakhir pada batalnya shalat.
Entah tulisan tentang jalan yang tergenang itu dapat membatalkan shalat akan sampai dibaca oleh Rektor baru UIN Alauddin, Prof. Hamdan atau tidak sampai di meja dan gadgetnya.
Tapi yang pastinya, jika ia merenungi berapa banyak shalat para mahasiswanya yang batal karena wudhunya yang batal akibat najis di jalan depan kampus, ia mestinya menjadikan hal itu sebagai tugas pertamanya dalam program 100 hari menjabat sebagai Rektor UIN Alauddin untuk membangun komunikasi yang jelas terhadap perbaikan jalan tersebut.
Tapi sayang, tulisan ini bukan tulisan Kipanjikusmin yang memiliki efek besar terhadap pandangan dan cara berpikir orang-orang yang hidup di masa pemerintahan Soekarno. Tapi juga jika dibiarkan, Prof. Hamdan akan menjadi bagian dalam pembiaran keadaan ini.
Jika tulisan ini sampai di mata pak Rektor, saya ingin berpesan “Pak, yang diratakan itu jalan untuk menuntut pendidikan, bukan bale-bale mahasiswa yang dijadikan tempat merenung selepas dipimpong-pimpong dosennya.”