Makassar, AksaraINTimes.id – Hari ini (2/11) Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM) tepat berusia 104 tahun. Menyambut hal tersebut, memori_psm mengadakan diskusi dengan topik “mengenal karakter PSM: Mencari atau Mengembalikan?”. Diskusi diadakan di Warkop 23, Makassar, pada Jumat (01/11/2019).
Diskusi tersebut dimulai dengan asumsi bahwa PSM hari ini telah kehilangan karakter, apalagi setelah tidak berdaya di laga tandang musim ini. PSM belum pernah meraih kemenangan jika berlaga di kandang lawan.
Alimuddin Usman legenda PSM era perserikatan yang turut menjadi narasumber mengenang bagaimana PSM dikenal dengan permainan yang keras dan cepat. Ngotot dan tidak mau kalah, begitulah PSM dikenal. “Seri saja kita anggap kalah,” kata Alimuddin menggambarkan bagaimana semangat ingin menang mendarah daging di tubuh pemain-pemain PSM kala itu.
Sikap tidak mau kalah ini sebagai karakter orang Makassar dibenarkan oleh Amir, Wartawan senior Makassar. “Anak Makassar itu paling cocok main bola, karena kita tidak mau kalah,” jelasnya. Ia juga menambahkan bahwa modal utama dalam permainan sepak bola adalah keinginan untuk selalu menang.
Hilangnya karakter PSM tidaklah terjadi secara instan, namun akibat dari pembinaan pemain-pemain lokal dan pembangunan infrastruktur sepakbola di Kota Makassar yang tidak menjadi prioritas pemerintah kota. Tak bisa dipungkiri karakter PSM selalu dibawa oleh pemain-pemain lokal itu sendiri, kita bisa melihat misalnya pemain macam Syamsul Haeruddin, yang kekinian Asnawi.
Minimnya Lapangan dan Hilangnya Kompetisi Usia Muda Jadi Penyebab
Kuarangnya pemain lokal sejalan dengan pembinaan usia dini dan kompetisi berjenjang yang telah hilang. Alimuddin Usman menjelaskan bahwa menggunakan seragam PSM dahulu adalah suatu kebanggaan yang tak terkira. Ia merupakan pemain yang lahir dari kompetisi lokal yakni Pekan Olahraga Daerah. Menurutnya karakter pemain adalah sesuatu yang timbul dari dalam diri pemain, dan merupakan hasil dari pembinaan sejak dini. Ia mengenang dirinya bergabung dengan PSM setelah dua kali menjadi top skor di kompetisi lokal.
Selain itu kurangnya lapangan yang layak di Makassar juga menjadi soal. Usman menjelaskan bagaimana dahulu di Karebosi terdapat lima lapangan yang dapat digunakan oleh masyarakat umum. Saat ini setelah revitalisasi lapangan Karebosi jumlah lapangan berkurang, itupun bermain di sana harus mengeluarkan uang.
Kurangnya lapangan yang layak di setiap kecamatan membuat anak-anak tidak dapat menyalurkan dan mengembangkan bakatnya bermain sepakbola, apalagi mereka yang berasal dari keluarga menengah ke bawah, tentu saja tak bisa bermain jika harus mengeluarkan uang.
Sejak sepuluh tahun terakhir, Makassar memang telah berkembang secara ekonomi. Ekonomi Makassar selalu tumbuh di atas rata-rata namun untuk hal-hal semacam ruang terbuka hijau dan lapangan bermain untuk masyarakat umum semakin hari malah semakin berkurang.
Akibatnya produksi pemain lokal pun berkurang, selain itu tidak ada lagi kompetisi lokal macam membuat anak-anak yang ingin menjadi pemain sepakbola sulit untuk dilirik oleh klub. Akhirnya klub mengandalkan transfer pemain sebagai jalan utama merekrut pemain.
Herman Rante, Mantan pemain PSM menegaskan bahwa karakter PSM yang selama ini dikenal sulit untuk dibentuk apabila kompetisi PSM tidak dijalankan. “Kalo tidak dijalankan [kompetisi PSM] pemain-pemain dari Sulawesi Selatan tidak akan masuk di PSM, pemain-pemain luar yang banyak datang ke sini,” katanya saat diskusi.
Sedikitnya lapangan di Kota Makassar tidak bisa dipungkiri merupakan konsekuensi logis dari pembangunan kota yang berorientasi pada peningkatan ekonomi. Hal-hal yang tidak bisa mendongkrak angka-angka pertumbuhan akhirnya menjadi pilihan kesekian.
Hal ini dapat dilihat dalam revitalisasi Lapangan Karebosi di mana alih fungsi menjadi lahan bisnis lebih diutamakan dibanding keinginan masyarakat untuk mendapatkan ruang terbuka hijau dan ruang bermain.
Kasus Karebosi hanyalah gambaran kecil dari arah pembangunan Kota Makassar yang cenderung mengabaikan hak-hak publik. Setiap tahun kita bisa melihat ruko-ruko baru dibangun, perumahan-perumahan kian bertambah, jalan tol dan lain-lain. Sangat berbanding terbalik dengan pembangunan fasilitas sepakbola bagi masyarat.
Maka dari itu untuk mengembalikan kejayaan dan karakter PSM terutama yang harus dilakukan adalah penyedian infrastruktur sepakbola yang layak dan merata di Kota Makassar. Lapangan dengan kualitas yang baik harus di sediakan agar produksi pemain semakin banyak, serta kompetisi lokal diselenggarakan agar kualitas pemain lokal semakin meningkat.
Penulis: Akmal Ashar