Konstruksi dunia dan sistem yang modern bergerak atas dasar profit-oriented. Segalanya bergerak cepat dan tak sungkan-sungkan menggilas sesuatu yang mengganggu kecepatannya, walaupun itu adalah prinsip dan nilai kemanusiaan.
Memilih hidup berjarak dengan uang, pada tarikh kehidupan modern dewasa ini apalagi di sebuah negara berkembang, tentu menjadi lelucon yang menggelitik. Namun di sisi lain terdapat keunikan luar biasa.
Seperti yang dikisahkan oleh Erni Aladjai dalam esainya “Gaya Hidup tanpa Uang”, beberapa orang di negara Barat menjalani kesehariannya tanpa uang. Bagi mereka, kemiskinan yang disebabkan oleh uang merupakan fenomena lucu. Letak kelucuannya adalah saat seseorang memutuskan untuk hidup dengan bergelimangan harta kekayaan, sehingga selalu menginginkan sesuatu yang lebih, maka saat itu pulalah ia memutuskan hidup dalam kemiskinan yang sebenarnya.
Mark Boyle dalam buku The Moneyless Man menghadirkan, di hadapan kita semua, sebuah kondisi kehidupan berjalan dengan tenteram tanpa kehadiran selembar benda mati, ketika tanpanya banyak orang tak merasakan hidup. Bahkan karenanya, seseorang belajar mematikan hidup orang lain hanya untuk memperoleh kehidupannya sendiri. Ibaratnya perang, kita berperang agar terhindar dari rasa sakit namun menciptakan rasa sakit pada orang. Baik uang maupun perang, keduanya adalah tameng kemunafikan.
“Kenapa kau ingin hidup tanpa uang, bukankah lebih baik jika kau mencari uang sebanyak-banyaknya dan menyumbangkannya di negara-negara yang sedang berkembang?” tanya seorang pembawa acara program TV ternama di Irlandia kepada Mark.
Mark kemudian menjawab dengan raut muka santai, “Mencari uang dari dan mendukung hanya akan membuat kita mendukung mereka berada di sistem yang membuat mereka tetap miskin. Selama ini negara-negara Barat memberikan suntikan bantuan, tapi bantuan yang mengikat. Ini seperti pinjaman Bank Dunia dan IMF. Bagi saya, bantuan seperti itu menggelikan, sama seperti Shell atau Esso memberi Greenpeace atau Friends of the Earth dana sebesar 10 ribu pound untuk memperbaiki kembali kehancuran yang mereka sebabkan.”
Sayangnya, tak ada Mark Boyle dan kawan-kawannya di Indonesia. Hampir dapat dipastikan, bahwa setiap lini kehidupan saat ini—baik ekonomi, politik maupun pendidikan—hanya memiliki satu orientasi, yakni keuntungan.
Sebagai contoh, arena pendidikan yang tampaknya memiliki proyeksi seakan-akan keluar dari nilai pendidikan itu sendiri, terutama sebagai ruang humanisasi. Pendidikan kini lebih mengutamakan orientasi industri. Hal demikian terbukti dengan hadirnya serangkaian lembaga-lembaga bisnis di dalam kampus. Sayangnya, itu justru lebih menyita perhatian segenap aparatur kampus, dibanding memikirkan solusi atas degradasi intelektual dan menumpulnya nalar kritis yang dihadapi mahasiswa.
Kampus yang sedari awal sebagai ranah pengolahan potensi dan budaya berpikir kritis, telah mengalami perubahan yang drastis. Kini, ia menjadi ranah pendisiplinan melalui relasi kuasa yang ditanamkan dalam tubuh (dalam Foucault). Hal ini kemudian diperjelas oleh Sara Upstone dalam Spatial Politics, bahwa kontrol terhadap tubuh bukan hanya melalui kekerasan, tetapi juga melalui aturan-aturan yang sifatnya lebih halus seperti pendidikan dan praktik-praktif administratif.
Delik sistem yang harus dipatuhi seakan mengubah skema kelahirannya sendiri sebagai sebuah pola untuk manusia. Di mana seharusnya, sistem hadir untuk manusia bukan manusia lahir karena sistem. Jika sebuah sistem tidak diinginkan oleh manusia dan proses kemanusiaan, maka mengubah sistem tersebut adalah sebuah keharusan.
Akan tetapi, kondisi yang saat ini terjadi justru sebaliknya. Sistem menjelma menjadi perkara yang harus diikuti manusia meskipun tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Konstruksi dunia dan sistem yang modern bergerak atas dasar profit-oriented. Segalanya bergerak cepat dan tak sungkan-sungkan menggilas sesuatu yang mengganggu kecepatannya, walaupun itu adalah prinsip dan nilai kemanusiaan.
Semua panggung yang tercipta tentu memiliki orientasi yang sama, yakni tentang keuntungan di atas segalanya. Sehingga, untuk terlibat di dalam arena pertunjukan, setiap orang diharuskan membeli tiket dengan biaya yang mampu mendukung misi dari pertunjukan tersebut. Jika tak mampu membeli tiket, maka pintu masuk tak mampu dibuka.
Sama halnya dengan isu kenaikan tarif sewa kantin salah satu kampus negeri di Makassar, yang akhir-akhir ini nyaring terdengar dan dilengkapi dengan wacana “jika tak mampu membayar, silahkan cari tempat penjualan yang lebih murah”. Angka kenaikan dari Rp 6.600.000/tahun ke Rp 15.000.000/tahun tentu mengundang segenap pertanyaan, juga merupakan hal yang mengejutkan di sisi para penyewa kantin—dalam hal ini mace/pace kantin.
Salah dua di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut: apa dasar dari kenaikan yang sangat drastis, dan mengapa pihak penyewa kantin tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan kenaikan tarif?
Melirik mekanisme pengelolaan perguruan tinggi yang akuntabilitas, transparansi serta berprinsip demokratis, tentu sangat disayangkan jika fenomena kenaikan tarif sewa kantin berjalan di luar dari mekanisme yang seharusnya.
Kendati lembaga pengembangan bisnis hadir sebagai bentuk peningkatan pelayanan dan pengelolaan aset, serta unit-unit usaha Badan Layanan Umum di kampus, namun lembaga tersebut tetap berada di bawah naungan kampus. Maka tentunya prosedural dan mekanisme kerja tetap pula berkiblat pada apa yang diterapkan oleh perguruan tinggi.
Di sisi lain, kehadiran pusat pengembangan bisnis pada unit usaha kantin juga memiliki semangat untuk memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar kampus. “Unit usaha kantin diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi pengembangan unit usaha kecil menengah yang digerakkan oleh masyarakat setempat, sehingga interaksi antara civitas akademika dan masyarakat dapat berjalan secara harmonis” (dikutip dari unit.uin-alauddin.ac.id)
Pernyataan yang dialamatkan kepada mace/pace kantin, yang kurang lebih seperti ini: “kalau tidak mampu membayar sewa, masih banyak kok orang dari luar yang ingin masuk menyewa di sini”. Tentu, itu sesuatu di luar dari dugaan mereka, dan sedikit melenceng dari semangat awal dari kehadiran lembaga pengelola ini.
Secara umum, kita ketahui bahwa mayoritas penyewa kantin tersebut adalah masyarakat asli sekitar kampus. Menjadi pedagang di kantin dapat dikatakan sebagai mata pencaharian utama bagi mereka. Selain daripada ketidakmampuan finansial menghadapi kenaikan tarif sewa yang drastis, mereka juga harus menanggung beban psikologis, di mana satu-satunya tumpuan harapan dalam membiayai pendidikan anak-anaknya dan melanjutkan kehidupan adalah dengan menjual di kantin.
Namun, jika benar kenaikan tarif menyentuh angka Rp 15.000.000/tahun, hampir dapat dipastikan bahwa mereka akan berhenti berdagang. Jika itu terjadi, maka hal demikian merupakan kegagalan tersendiri bagi kampus dalam menyejahterakan masyarakat sekelilingnya, sekaligus turut membenarkan apa yang dikatakan dan ditakutkan Mark Boyle: uang akan melahirkan perilaku dehumanisasi dalam diri manusia.
Akan tetapi, mace/pace kantin harus tetap berharap, setidaknya pada konsep skriptualisme, bahwa sebaik-baiknya seorang manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Sebaliknya, seburuk-buruknya manusia adalah ia yang dimanfaatkan oleh manusia lain, dan sistem tidak manusiawi yang dikendalikan oleh manusia pula.
Penulis: Askar Nur
Editor: Dian Kartika