Banyak kalangan menginterpretasikan buku ibarat ‘dunia sejuk yang tersembunyi’ hingga mendeklarasikan untuk hidup di sebuah negeri yang ‘terpencil’ asalkan bersama buku.
Gagasan yang terbilang ‘nekat’ itu lahir dari bibir para pemikir ternama, seperti perkataan Thomas B. Macaulay (dalam Agroliterasi hal. 31), “Biarlah saya jadi orang miskin, tinggal di gubuk tapi punya buku banyak dari pada jadi raja tapi tak suka membaca”.
Begitupula yang pernah dikatakan oleh salah satu tokoh yang membawa pengaruh besar terhadap kemerdekaan Indonesia, Mohammad Hatta yang akrab kita sapa Bung Hatta, beliau berkata “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas” dan beberapa pernyataan tokoh-tokoh lainnya yang memiliki kesamaan esensi.
Sampai di sini, tentunya gagasan-gagasan tersebut memancing kita untuk membayangkan bahwa betapa indahnya dunia buku sehingga banyak orang yang memutuskan untuk mengorbankan sesuatu termasuk kemapanannya hanya untuk buku.
Senada dengan itu, Napoleon Bonaparte mengajak kita untuk lebih penasaran terhadap keindahan dan kekuatan di balik buku melalui pernyataannya, “Tunjukkan saya kelompok pembaca buku, maka saya akan tunjukkan siapa yang menggerakkan dunia”.
Tatanan kehidupan terbangun dengan ideal berkat gagasan besar para pemikir pemuka di dalamnya yang lahir dari kemampuan keberaksaraannya.
Hal demikianpun berlaku terhadap Indonesia, berkat pengaruh besar dua tokoh Soekarno dan Mohammad Hatta, deklarasi kemerdekaan terdengar dan formulasi terhadap keberlangsungan Indonesia jauh hari digagas oleh para tokoh proklamtor tersebut yang berangkat dari pemikiran besar dan tentunya sebagai hasil jerih payah mereka mengarungi samudra ilmu pengetahuan yang maha luas, termasuk kecintaan mereka terhadap buku.
Buku dan Kisahnya
Buku tentunya tak selamanya menuai perlakuan ramah seperti yang dilakukan oleh para pencintanya (bibliofil). Beberapa kalangan acapkali menganggap buku sebagai ancaman terhadap suatu paham sehingga mereka memutusakan untuk memperlakukan buku dengan tidak sebagaimana mestinya.
Terbukti dari setiap masa pemerintahan di negeri ini selalu diwarnai kisah mengharukan terhadap buku dan para pencintanya mulai dari penyitaan, pelarangan bahkan penghancuran buku sampai pembubaran diskusi-diskusi tentang buku.
Berdasarkan keterangan yang termuat dalam buku Agroliterasi, sebuah Antologi Esai karya Irsan menyebutkan bahwa pada 13 Juni 2012 terjadi pembakaran buku “5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia” dengan anggapan bahwa buku tersebut memiliki muatan yang menyesatkan sehingga MUI dan FPI saat itu mendesak Gramedia yang kemudian memutuskan untuk membakar buku tersebut dan pada Jumat, 7 Februari 2014 sebuah diskusi buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia” jilid 4 karya Harry A. Poeze diselenggarakan di Perpustakaan C20 Surabaya oleh Yayasan Pustaka Obor, spontan mendapat respon dalam bentuk pembubaran diskusi yang diinisiasi oleh Front Pembela Islam setempat dan hal yang sama pula pernah terjadi di berbagai wilayah baik di dalam cakupan teritorial Indonesia maupun di luarnya.
Beberapa peristiwa memilukan tersebut yang melibatkan perkara tentang buku tentu akan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan sebuah bangsa. Betapa tidak, buku sebagai perekam sejarah atas kejadian masa lalu sebuah bangsa akan mempengaruhi pertumbuhan bangsa itu sendiri.
Sejarah merupakan bangunan kokoh sebuah ingatan di masa lalu yang akan menjadi pembelajaran di masa sekarang dan mendatang melalui hasil refleksi. Senada dengan itu, Pramoedya Ananta Toer dalam hasil wawancaranya yang dimuat dalam buku “Saya Ingin Melihat Semua Ini Berakhir” memekik bahwa sebuah bangsa akan menghadapi kemajuan yang bernilai jika pemimpinnya paham akan fakta sejarah bangsa tersebut dan tentunya tidak udik’ sejarah.
Selain dari pada buku mampu menawarkan kedalaman imajinasi, kemampuan intelektual hingga bijaksana dalam merespon fenomena dan tidak gampang terprovokasi bagi para pembacanya, buku pula mampu mengurai benang kusut sejarah sebuah bangsa dan menunjukkan fakta sejarah.
#MakassarTidakKasarPadaBuku
Peristiwa yang bertajuk penyitaan buku, baru-baru ini pula terjadi tepatnya 27 Juli 2019 di Probolinggo, Jawa Timur. Dua pemuda yang tergabung dalam komunitas Vespa Literasi diamankan oleh aparat kepolisian setempat dikarenakan memajang buku dari salah satu tokoh PKI, Dipa Nusantara (D.N) Aidit di lapak buku gratisnya dengan alasan bahwa dua pemuda tersebut dituding pro komunis.
Selanjutnya kisah yang sama pun kembali terulang di Kota Makassar yakni penyitaan buku paham Marxisme di sejumlah toko buku di pusat perbelanjaan atau mall pada 3 Agustus 2019.
Melalui informasi yang dimuat di media online, tagar.id dan video yang berdurasi hampir satu menit yang sempat viral, ormas dari Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulawesi Selatan melakukan razia buku-buku berisi ajaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme di sejumlah toko buku di Makassar.
Ketua BMI Sulsel mengatakan bahwa mereka memiliki dasar hukum dalam merazia buku yakni Tap MPRS No. XXV 1966 tentang pembubaran PKI dan juga pelarangan ajaran yang bermuatan komunisme, marxisme dan leninisme.
Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa razia buku yang tergolong keras sudah lama mereka lakukan dan sudah banyak buku-buku yang mereka sita serta menginstruksikan agar toko buku tidak menyediakan buku sejenis itu lagi.
Spontan, peristiwa penyitaan buku tersebut menuai banyak sorotan dan kritikan dari berbagai kalangan baik melalui akun sosmed maupun dalam bentuk tulisan.
Kebanyakan respon yang muncul tidak membenarkan tindakan yang dilakukan oleh ormas tersebut dengan beberapa pertimbangan alasan. Kita ketahui bersama bahwa dasar hukum dari ormas yang melakukan razia buku tersebut adalah TAP MPRS No. XXV/1966 yang berisi tentang pembubaran PKI sebagai Partai Politik dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang ‘diklaim’ sebagai ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang.
Aturan tersebut jika disandingkan dengan Keputusan MK pada Oktober 2010 lalu, yang telah mencabut UU No.4/PNPS tahun 1963 mengenai penyitaan dan pelarangan penerbitan buku dengan alasan bahwa ‘pelarangan dan penyitaan buku melanggar konstitusi’ yaitu bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28F maka kita bisa menemukan dua variabel dari dua aturan tersebut yaitu pertama, tentang pembubaran PKI dan Marxisme-Leninisme yang ‘diklaim’ sebagai ideologi PKI sekaligus yang dijadikan dasar hukum oleh ormas tersebut dan kedua, pencabutan UU tentang penyitaan dan pelarangan buku dengan alasan melanggar konstitusi negeri ini.
Kalaupun beranggapan bahwa banyak buku yang mengandung unsur Marxisme-Leninisme-Komunisme sehingga memutuskan untuk menyitanya sebagai bentuk antisipasi lahirnya kembali PKI maka perlu kiranya kita menelaah buku-buku yang dianulir tersebut baik dengan membacanya maupun mendiskusikannya.
Berbicara komunisme, rasanya kita terlalu fanatik dalam membenci pula jika langsung menyimpulkan tanpa proses penelaahan kritis sebelumnya karena tentunya itu akan menjurus pada konsep tirani (memaksakan kehendak), bukankah agama menghalau penganutnya ke tindakan seperti itu?
Dan kiranya sebelum mengatakan dan melakukan sesuatu tentu kita harus memiliki pengetahuan terhadap sesuatu itu secara mendetail, bukankah seperti itu?
Menggaungkan komunisme dengan peristiwa 30 September dan pembantaian ’65 yang sementara peristiwa tersebut masih mengandung banyak tanya di baliknya, salah dua pertanyaannya adalah siapa dalang dari pembunuhan beberapa jendral sebenarnya?
Sudahkah kita menelisik lebih dalam bahwa pelakunya adalah PKI sehingga memutuskan untuk melakukan pembantaian terhadap PKI dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI?
Dan apa yang menyebabkan pertanyaan-pertanyaan tersebut belum mampu dijawab dengan faktual dan objektif? Mungkin jawaban sederhananya adalah karena kebanyakan dari kita (kalau tidak bisa disebut semuanya) kurang dalam mengkaji sesuatu atau mungkin karena lemahnya minat baca kita sehingga yang terjadi adalah melihat sesuatu dengan mengedepankan emosi dan perasaan tinggi bukan karena analisa yang objektif dan faktual dan dampaknya adalah kian mengaburnya fakta sejarah.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa penulis dalam hal ini mengutarakan sebuah pandangan bukan berarti pro terhadap sebuah paham melainkan penulis akan berpihak pada perkara yang memiliki kontribusi terhadap nilai keadilan dan kemanusiaan.
Selanjutnya, menyita buku dengan alasan karena mengandung Marxisme-Leninisme-Komunisme yang kemudian membawa kita pada kesimpulan bahwa buku dan pembacanya tersebut pro terhadap komunisme dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan pemberontakan pula merupakan hal yang seharusnya menempuh duduk perkara terlebih dahulu.
Logika sederhananya (sama dengan logika dasar hukum yang diutarakan oleh ormas tersebut di atas yakni melakukan penyitaan buku melalui aturan tentang pembubaran PKI dan ideologi yang ‘diklaim’ sebagai ideologi PKI yang mungkin saja seharusnya yang menjadi dasar hukum ormas tersebut adalah UU No.4/PNPS tahun 1963 tentang legalitas penyitaan buku tapi mungkin karena MK sudah lebih dulu mencabut UU tersebut sehingga memutuskan mengambil dasar hukum yang lain), adalah seorang dokter yang mengkaji dan membaca buku tentang obat-obat terlarang, lantas mungkinkah kita akan beranggapan bahwa dokter tersebut menyalahgunakan obat terlarang dan menangkapnya?
Padahal jika kita menelusurinya dengan pikiran jernih nan sehat sebagai salah satu tujuan membaca buku adalah menumbuhkan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam diri, ternyata tujuan dokter tersebut membaca referensi tentang obat-obat terlarang adalah untuk menjadikan obat-obatan itu sebagai obat penenang bagi pasien yang dibedah organ tubuhnya.
Begitupula dengan buku dan para pembaca buku yang dicap sebagai buku kiri garis keras, tidak serta merta apa yang terdapat dalam buku itupun yang akan dilakukan oleh pembacanya. Pembaca buku yang bijak adalah mereka yang tetap berpikir jernih melihat segala fenomena dan terus mencari referensi-referensi lain hingga akhirnya memutuskan kesimpulan atas sebuah perkara.
Sebagai penutup, kota Makassar sebagai kota yang kreatif, hal demikian dapat dilihat misalnya dari program pemerintah yang bertagline Makassar Tidak Rantasa’ yakni pengadaan mobil-mobil pengangkut sampah agar kebersihan kota tetap terjaga.
Dan anggapan bahwa masyarakat Makassar identik dengan karakternya yang keras mungkin dilihat dari cara penuturan kata misalnya, alhasil banyak yang berasumsi bahwa mereka kasar sehingga beredarlah sebuah narasi ‘Makassar Tidak Kasar’ sebagai bentuk klarifikasi atas asumsi masyarakat khususnya di luar Makassar atau para pendatang.
Karakter yang keras dan penuturan katanya yang tegas merupakan ciri khas orang Makassar yang berangkat dari latar belakang budayanya namun hal demikian tidak menjadi sebuah dasar yang jelas untuk menarik kesimpulan jika masyarakat Makassar kasar dalam segi tindakan atau bahkan berimajinasi sampai pada persoalan mengaitkannya dengan tindakan kekerasan dan kejahatan.
Oleh karena itu, berangkat dari peristiwa di atas maka perlu juga kiranya kita mewacanakan #MakassarTidakKasarPadaBuku sebagai upaya counter hegemoni dari peristiwa penyitaan buku yang terjadi di Makassar.
Tak bisa dipungkiri, Makassar terbangun dengan kokoh sampai hari ini tidak terlepas daripada gagasan yang lahir dari baik masyarakat maupun para pemimpinnya melalui ikhtiarnya bersama buku.