Palopo, AksaraINTimes.id – Semarak Festival Keraton Nusantara mewarnai Kota Palopo sejak Kamis (6/09). Berbagai kegiatan dilaksanakan mulai dari pameran ekonomi kreatif, festival kopi hingga pagelaran seni.
Namun, ada hal yang membuat resah masyarakat yakni pelaksanaan kegitan macera’ tasi yang akan dilaksanakan di Belopa, Kab.Luwu. Zul Fajrin seorang warga merasa khawatir karena kejadian yang menimpa Kota Palu beberapa waktu lalu. “Nanti kayak di Palu kan,” katanya.
Sementara itu ketua panitia, Andi Pallangi menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir soal kegiatan berbau syirik sebagaimana yang banyak beredar di media sosial. Walaupun ada pemotongan kerbau tapi hanya untuk konsumsi bukan untuk sesajen.
“Selayaknya pesta biasa, maka kami juga melakukan pemotongan kerbau sebagai bentuk tanda syukur dalam penyelenggaraan pesta laut, dan setelah kerbau ini dipotong, seluruhnya diserahkan ke panitia seksi konsumsi untuk disajikan nanti kepada tamu-tamu dan masyarakat. Jadi kami yakin bahwa tidak ada yang namanya pelarungan kepala kerbau pada acara Maccera Tasi,” jelasnya.
Pesta adat ini sendiri berakar dari budaya dan adat masyarakat Luwu, sebagai manifestasi hubungan antara manusia, Tuhan dan alam. Dalam mitologi I Laga Ligo dikatakan bahwa Melalui suatu musyawarah antara Dewa- Dewa Penguasa dari seluruh lapisan alam ini, baik dari “Boting Langi” atau khayangan, maupun dari “Toddang Toja” atau dasar samudra yang ketujuh.
Maka To PalanroE atau Yang Maha Pencipta memutuskan akan menciptakan kehidupan dimuka bumi atau atawareng ini, dengan tujuan agar kelak mereka akan mengucapkan doa memohon keselamatan bila mereka ditimpa bencana dan malapetaka dan atau mengucapkan “Doa Syukur” bila mereka mendapat rahmat dan rejeki dari Yang Maha Esa.
Maka acara Pesta Laut atau Maccera’ Tasi’ ini adalah salah satu acara mengucapkan doa syukur atas nikmat dan rejeki dari hasil laut yang melimpah, sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Pemberi Rezeki.
Setelah kedatangan Islam, ritualnya telah disesuaikan dengan akidah dan syariat Islam, sesuai dengan kaidah adat Luwu yang mengatakan “Pattuppui ri –Ade’E, Mupasanrei ri – Syara’E”, yang secara bebas berarti bahwa setiap tindakan dan kegiatan harus selalu didasarkan pada adat dan disandarkan pada syariat agama Islam.