Hype  

Kisah Lengkap KKN di Desa Penari Versi Nur: Diambil dari Kisah Nyata 2009 Silam

KKN di Desa Penari
KKN di Desa Penari

Aksaraintimes.id – Kisah KKN di Desa Penari kini kembali menjadi sorotan dan bahan perbincangan. Terlebih lagi kisah tersebut telah ditayangkan di bioskop-bioskop.

Penulis kisah horror tersebut menyebutkan bahwa KKN di Desa Penari diambil dari kisah nyata yang terjadi pada 13 tahun yang lalu.

Adapun cerita lengkap film KKN di Desa Penari di posting akun SimpleMan, @SimpleM81378523 pada tahun 2019 silam.

Menurut SimpleMan, cerita kini merupakan kisah nyata yang terjadi di sebuah desa di Jawa pada 2009.

Baca juga: Sinopsis Film KKN di Desa Penari: Kisah Tragis Enam Mahasiswa

Dalam cerita yang disampaikan SimpleMan dibuat dalam 2 versi yaitu versi Widya dan versi Nur.

Berikut ini adalah cerita lengkap versi Nur yang dikutip dari postingan SimpleMan:

Malam setelah Widya dan Ayu melepas penat, Nur terbangun. Ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Bima dan Ayu yang tanpa sengaja ia dengar.

Dengan cekatan dan mengambil resiko, Nur mengambil isi tas Ayu, membawanya menuju ke dapur sendirian. Ia merasa benda tersebut ada disana.

Nur membongkar seluruh benda-benda itu, namun tidak ada yang aneh, toh dia sudah mengeluarkan isi tasnya. Sebelum Nur sadar, masih ada resleting yang belum ia buka, tepat ketika ia membukanya, ia mencium aroma wangi dari dalamnya.

Sebuah selendang hijau milik penari. Tiba-tiba tangan Nur seperti gemetar hebat. Nafasnya menjadi sangat berat, tempat ia berada seakan menjadi sangat dingin.

Dan tabuhan kendang diikuti alunan gamelan berdendang. Nur tahu, bahwa si penari ada di tempat itu.

Apa yang sebenarnya Ayu lakukan.

Apa yang Bima sembunyikan?

Tepat pada saat itu juga, Nur melihat dengan mata kepala sendiri, Widya melangkah masuk ke dapur dengan mata tajam menatap Nur. Dia pun kaget setengah mati.

Nur lalu bertanya pada Widya

“Nyapo wid awakmu nang kene?” (ngapain kamu wid, ada disini?).

Namun Widiya hanya berujar “ojok diterusno!” (Jangan dilanjutkan!).

Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesannya, itu khas jawa sekali. Nur tidak begitu mengerti. Yang dia tangkap hanya kalimat “salah”, “nyawa”, dan “tumbal”. IItupun tidak jelas.

Selain itu, setiap dia melihat Nur, ia seperti memberikan ekspresi sungkan, seperti anak muda yang memberikan hormat kepada orang tua.

Kalimat terakhir yang Widya ucapkan sebelum kembali ke kamarnya adalah “kamu bisa pulang dengan selamat, saya yang jamin”. Tapi dengan logat Jawa.

Nur membereskan semuanya saat itu juga, ia mengembalikan tas Ayu pada tempatnya, sempat ia melihat Widya yang tengah tidur, ia mengurungkan niat untuk membangunkanya, esok, ia harus bertemu dengan Bima, Nur yang paling sadar, tempat ini sudah menolak mereka semua.

sejak insiden itu, Ayu menghindari Nur, terlebih Bima apalagi, meski begitu, tidak ada yang nampak bahwa mereka sedang memiliki urusan, Widya wahyu dan Anton pun, di buat tidak sadar, bahwa ada permasalah internal pada kelompok KKN mereka. Nur, bingung, tidak ada yang bisa-

untuk di ajak berbagi, kecuali. mbah Buyut, namun, ia tidak tahu dimana beliau tinggal, pun Nur sudah mencoba mengelilingi desa, tak di temui sosok lelaki tua itu, sehingga akhirnya, Nur berinisiatif menyelesaikan ini sendiri, ia menemui Bima, sore itu, mengajaknya ke tepi sungai

“ceritakno sing gak isok mok ceritakne nang ngarep’e Ayu” (ceritakan yang gak bisa kamu ceritakan didepan Ayu)

Bima tampak menimbang apakah dia harus bicara atau tidak sampai akhirnya ia menyerah dan mengatakanya.

“aku khilaf Nur” kata Bima,

cah iki, pancet ae” (benar2 ya)

“gak, gak iku. aku pancen khilaf wes ngunu ambek ayu, tapi aku luweh khilaf, wes nyobak-nyobak melet Widya” (bukan, bukan itu, aku memang khilaf sudah melakukan itu sama Ayu, tapi aku lebih khilaf sudah mencoba membuat Widya suka sama aku)

“maksude?” tanya Nur penasaran.

“nang nggon sing mok parani, iku onok sing jogo, arek wedok ayu, jeneng’e dawuh” (di tempat yang kamu datangi ada penjaganya, seorang perempuan cantik, namanya dawuh)

“jin” tanya Ayu,

“gak. menungso” (tidak. manusia)

“mosok onok, iku ngunu jin,” (mana ada, itu jin)

terjadi perdebadan sengit antara Nur dengan Bima, dengan bersikeras Bima mengatakan yang ia temui seorang perempuan warga desa ini. namun, Nur membantah, tidak ada yang tinggal disana, lagipula tempat itu di larang sejak awal. namun, Bima terus menolak sampai tanpa sengaja,

-menampar Nur, hingga terseok di tepi sungai, Nur pun menghujani Bima dengan batu, seakan-akan kepala Bima sudah tidak beres, sampai akhirnya Bima mengatakan, “arek iku, wes ngekek’i aku, Kawaturih kanggo Widya, jarene iku jimat ben aku ambek arek’e di persatuno”

(perempuan itu, sudah memberiku semacam mahkota putih yang ada di lenganya, yang katanya, itu bisa membuat Widya selalu nempel sama aku)

Nur yang mendengar itu, semakin tersulut, “goblok yo koen, gorong 4 tahun, wes rusak utekmu, syirik koen Bim”

Baca juga: Link Download Film KKN di Desa Penari, Tayangkan Adegan Dewasa Ayu dan Bima: New Versi Uncut Kualitas HD

(bodoh ternyata kamu ya, belum 4 tahun sudah rusak isi kepalamu, yang kamu lakukan itu menyekutukan Bim)

“nang ndi barang iku sak iki?” (dimana sekarang barang itu?) tanya Nur,

“di gowo Ayu, nek jarene, wes ilang” (dibawa oleh Ayu, katanya, sudah hilang)

“aku gak ngurus Bim, balekno barang gak bener iku, awakmu gak paham ambek kelakuanmu, iku ngunu isok gowo balak”

(aku tidak perduli, gimana caranya, kembalikan barang itu, kamu gak mengerti, perbuatanmu, bisa mendatangkan malapetaka)

Nur pergi, sekarang, ia tahu harus kemana, menemui Ayu.

Nur barusaja bertemu dengan Ayu setelah keluar dari rumah pak Prabu, Nur tidak mengerti apa yang barusaja dia lakukan.

“lapo koen?” (ngapain kamu)

Ayu mencoba menahan malu, setiap kali melihat Nur, mata Ayu seperti meratap atas apa yang sudah ia perbuat, dan itu fatal.

“gak popo Nur, tak cepetno, ben proker’e arek -arek cepet mari, mari iku ayo balik, pokok’e fokus KKN kabeh yo” (gak papa Nur, aku percepat urusanya, biar anak-anak semuanya bisa fokus garap proker mereka, kita juga harus kembali, intinya fokus dulu sama KKN ya)

“aku pengen ngomong yu, soal” (aku mau ngomong yu, soal) kata Nur yang terhenti melihat Anton mendekat, nafasnya terengah-engah, “Nur, warga sing mbantu, kerasukan kabeh, rusak proker kene iki” (Nur, warga yang bantu proker kita kerasukan, rusak semua proker kita)

Ayu, Nur dan Anton pergi ke lokasi, waktu itu ramai, dan ketika Nur tiba, seorang pria yang di pegangi oleh warga, tampak melotot melihat Nur, ia menunjuk Nur seakan biang masalah di desa ini, ia menyentak dengan suara berat. “Tamu di ajeni tambah ngelamak koen, mrene koen”

(Tamu sudah dihormati tambah seenaknya, kesini kamu kesini!!)

Nur kaget, ia di lindungi warga lain, tidak hanya pria itu, ada satu lagi, yang juga di tahan, sayangnya, pria yang satu lagi, melotot pada pria pertama, seakan ia marah pada warga desa itu. “aku wes janji-

jogo cah iki, awakmu ra oleh gawe perkara ambek arek iki” (saya sudah berjanji sama seseorang untuk jaga anak ini, kamu tidak boleh membuat masalah sama dia)

warga yang resah akhirnya membawa Nur ke rumah mereka, berikut Ayu dan Anton, di ikuti yang lain, kecuali, Widya.

saat Wahyu di konfirmasi, dimana Widya, Wahyu mengatakan Widya sama warga lain melanjutkan prokernya, tidak ada yang tahu mereka ada di salah satu rumah warga,

namun, ketika langit mulai petang, Nur hilang dari kamarnya, warga yang tahu, panik. terakhir kali, Nur pingsan.

Nur terbangun dalam keadaan menggunakan mukenah sholat dan ada Widya di sampingnya, namun, wajah Widya tampak tegang, Widya tidak bisa menyembunyikan bahwa ia baru saja mengalami kejadian janggal.

“ket kapan isok ndelok Nur?” (sejak kapan kamu bisa lihat begituan?)

Nur yang mendengar itu kaget, sejak kapan Widya tahu dan bertanya soal itu. mereka terjebak dalam suasana canggung. Nur jadi berpikir, bahwa kunci semuanya, mungkin ada pada Widya,

sejak awal, Widya juga yang paling aneh di tempat ini.

“aku gak isok ngomong Wid, penjelasane ruwet, tapi, aku wes keroso ngene iki ket mondok,” kata Nur, “Ghaib iku nyata Wid”

(aku gak bisa jelaskan secara spesifik, tapi, aku sudah merasa begini sejak mondok, yang jelas, ghaib itu nyata Wid)

“awakmu onok sing jogo ya?” (kamu ada yang jaga ya?) tanya Widya, yang membuat Nur semakin kaget, bingung harus menjelaskanya, ia harus mengingat bahwa sebelum keluar dari pesantren, banyak temanya yang bilang, setiap malam, Nur terbangun dan melafaldzkan doa yang bahkan-

sangat susah di hafal oleh santri pondok saat itu.

teman-temanya sampai memanggil guru mereka, agar Nur di ruqiah, namun, guru Nur menolak, beralasan bahwa, selama tidak menganggu keimanan Nur, di biarkan saja, daripada menjadi boomerang untuk Nur, bahkan,

guru Nur sudah berulang kali menjelaskan bahwa, ia harus tetap mengimankan kepercayaanya, tidak perlu memperdulikan jin model apa yang mengikutinya selama ini.

si guru memanggil jin itu dengan nama “Mbah dok” karena berwujud wanita tua.

tanpa Nur sadari, itu adalah kali pertama ia bisa bicara lagi sama Widya setelah lama, ia seolah saling menjauhi satu sama lain, Nur menceritakan semuanya, pengalaman di pondok hingga ia keluar darisana, kecuali, insiden ganjil di tempat ini, Nur masih menyimpanya sendiri.

karena Nur percaya, Widya punya apa yang ia cari selama ini, meski itu hanya asumsi, namun, ia yakin, Widya memilikinya.

hingga, kesempatan itu muncul, Nur, melihat kamar, tanpa ada satu orangpun, Ayu dan Widya mengerjakan proker mereka, Nur membuka almari, mengeluarkan-

isi tas Widya.

ia membongkar semuanya, mencari hingga ke celah terkecil di tas yang Widya bawa, semua persedian yang ia bawa tak luput dari pencarianya, sampai, Nur akhirnya menemukanya.

sebuah logam melingkar, dengan bentuk ukiran dari kemuning, bentuknya indah layaknya-

sebuah perhiasan, tidak hanya itu, di tengahnya, ada batu mulia berwarna hijau, dengan wajah bingung, Nur bergumam sendiran “Kawaturih” itu, bagaimana bisa ada pada Widya.

melihat itu, Nur sudah hilang kesabaran, ia membongkar isi tas Ayu, mengambil selendang hijaunya, 2 benda itu, Nur simpan pada sebuah kotak kayu yang ia temukan di pawon (dapur) tempat biasa untuk menyimpan bumbu masakan, tidak hanya itu, Nur menutupinya dengan kain putih, yang-

di dalamnya, ada kitab agamanya. Nur menyembunyikan tepat di bawah meja kamar, tertutup taplak meja. lalu, Nur pergi mencari Ayu,

setelah menemukan Ayu di tempat proker, Nur menarik Ayu, membawanya menjauh sebelum menampar wajahnya sampai Ayu, tidak bisa bicara apa-apa.

“gak waras koen yo, barang ngunu mok deleh nang tas’e Widya!! cah edan, kate makakno Widya koen yo, gak cukup ambek masalahmu opo!!” (gak waras kamu ya, barang seperti itu, sengaja di tarus di tas Widya!! orang gila, mau kamu umpankan Widya ya, apa gak cukup sama masalahmu!!)

“jelasno kok isok-isokne awakmu tego, yo opo penjelasanmu isok nduwe barang-barang gak bener iku?!” (jelaskan kok bisa kamu tega ya, gimana penjelasanmu kok bisa punya barang seperti itu)

“barang opo to Nur?!” (barang apa sih Nur?) tanya ayu.

“selendang hijau iku”

Ayu yang mendengar itu tampak kaget.

“kok isok awakmu eroh Nur, awakmu kelewatan mbongkar barang pribadine wong liya yo” (kok bisa kamu tahu, kamu itu kelewatan kok bisa bongkar barang milik orang lain)

“sak iki, melu aku nang pak Prabu, ayok” (sekarang, ikut aku ke pak Prabu)

Nur menarik Ayu, menyeretnya kuat-kuat, namun Ayu menolak sebelum ia mengatakanya.

“aku di kongkon ndeleh iku, gawe gantine selendang iku” “selendang sing nggarai Bima gelem mbek aku”

(aku disuruh naruh benda itu, sebagai pengganti selendang itu, selendang yang bikin Bima mau)

“sopo sing ngekek’i iku?” (siapa yang ngasih itu?) tanya Nur, namun Ayu menolak mengatakanya.

“sopo kok!!” (siapa kok!!)

Ayu tetap menolak, bahkan sampai Nur mengatakan apa perempuan yang juga Bima temui yang menyuruhnya, ekspresi Ayu tampak kaget mendengarnya,

Ayu mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu siapa perempuan itu, dan siapa yang memberinya juga tidak ada hubunganya sama perempuan itu, bahkan sekalipun, Ayu tidak pernah bertemu perempuan yang di katakan Bima sangat cantik itu

Nur menyerah, namun firasat buruknya, semakin terasa

(ada hal ganjil disini, yang Nur sadari di kemudian hari, orang atau makhluk yang memberi Nur selendang ini, siapa?

sampai akhir cerita ini belum dipecahkan, bahkan dari saat gw bicara sama mbak Nur, beliau hanya berasumsi, namun tidak berani mengatakan)

puncaknya, adalah setelah malam panjang itu. disini, petaka yang paling di takutkan oleh Nur, terjawab.

Nur terbangun ketika subuh, ia tersentak saat mendengar Widya menangis, tangisanya sangat keras sampai Nur terkesiap lalu terbangun dari tidurnya

saat ia melihat, apa yang membuatnya terbangun, Nur melihat Ayu, dengan mata terbuka, ia mengangah, seperti mau mengatakan sesuatu

belum berhenti sampai disana, Nur tidak menemukan Widya di tempatnya, hal itu, membuat Nur menjerit sehingga Wahyu dan Anton merangsek masuk dengan wajah khawatir.

“onok opo Nur? (ada apa Nur?)

“Widya ilang mas” (Widya hilang mas)

Wahyu dan Anton terhenyak sesaat, sebelum-

“Bima yo gak onok nang kamar loh”(Bima juga gak ada di dalam kamar) kata Anton buru-buru,

sontak, semua mata memandang Ayu, Wahyu terhentak bingung.

“Ayu kenek opo Nur” (Ayu kenapa Nur)

“celukno pak Prabu!!” (panggilkan pak Prabu)

Anton yang mendengarnya langsung pergi.

“yu, tangi yu!!” (yu ayok bangun yu) namun, Ayu masih sama, ia hanya melihat langit-langit, Nur manah mulutnya agar tertutup, namun, ia terus mengangah, Wahyu yang melihat tidak bisa berbuat apa-apa

“Cok onok opo seh iki” (asem, ada apa sih ini)

“celokno warga ojok ndelok tok!”

Wahyu pun ikut pergi, Nur terus menahan mulut Ayu. sampai Pak prabu datang bersama Anton dan melihatnya.

“kok isok koyok ngene to nduk” (kok bisa sampai begini sih nak)

Pak prabu, pergi ke pawon, ia kembali membawa teko air, Nur menahan isi kepala Ayu, dan meminumkanya.

tiba-tiba, ayu menutup mulutnya, namun, ia masih belum bereaksi, tidak beberapa lama, warga sudah berdatangan bersama Wahyu, saat itu, rumah itu di penuhi warga, tanpa banyak bicara, pak Prabu menyuruh beberapa orang untuk memanggil mbah Buyut.

dan warga itu pun pergi.

Nur menjelaskan kronologi kejadian itu, namun, ia meminta pak Prabu tidak menceritakan semua ini kepada warga, Anton dan Wahyu yang mendengarnya seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Asu, kok isok loh” (anj*ng! kok bisa bisanya) Wahyu tampak merah padam mendengarnya.

pak Prabu pun mengumpulkan warga, meminta mereka semua pergi menyisir setiap penjuru Desa, ia beralaskan, bahwa Bima dan Widya hilang kemarin malam, dan saat ini belum kembali.

meski warga awalnya bingung, bagaimana bisa, namun mereka semua langsung bergerak, termasuk Wahyu

Anton pun begitu, ia ikut menyisir ke hilir sampai hulu sungai, sebisa mungkin dengan beberapa warga yang membawa parang dan berbagai barang yang tidak pernah ia pahami.

Nur terus menangis, melihat kondisi Ayu, membuat ia tidak bisa menahan kesedihan yang sudah memenuhi hatinya

pak Prabu meminta penjelasan lebih detail, setelah itu, Nur menunjukkan barang yang seharusnya ia berikan kepada pak Prabu saat mendapatkanya.

tepat ketika membuka kotak itu, pak Prabu yang melihatnya, kaget bukan main, sampai ia tiba-tiba berteriak marah “OLEH TEKAN NDI IKI?!”

(DAPAT DARIMANA KAMU BENDA INI!!)

Nur yang kaget, kemudian menjelaskan sisa ceritanya, disana, pak Prabu terlihat frustasi, ia kemudian mengatakan kepada Nur, “nek kancamu gak ketemu, ikhlasno, ben aku sing ngadepi masalah iki” (bila sampai temanmu, tidak ditemukan, ikhlaskan biar aku yang menghadapi sisanya)

Nur pun bertanya, benda apa itu sebenarnya, namun pak Prabu tidak bicara, ia harus menunggu datangnya mbah Buyut yang akan menceritakan semuanya.

berjam-jam sudah di lewati namun belum ada kabar satupun dari warga yang kembali, sampai terdengar suara motor mendekat, manakala Nur dan pak Prabu berdiri untuk melihat sesiapa yang datang,

mbah Buyut mendetak dengan tergopoh-gopoh, seakan mencari sesuatu,

mbah Buyut mengambil kawaturih, kemudian bertanya siapa yang punya, Nur mendekat, menjelaskan semuanya, ekspresi tenang mbah Buyut, tidak terlihat sama sekali.

kemudian ia menatap Ayu, helaan nafas berat mbah Buyut keluarkan, kemudian ia, meminta Prabu membuatkan kopi hitam

mbah Buyut duduk sembari berpikir, banyak pertanyaan yang ia ajukan mulai, sejak kapan ada benda seperti ini disini, lalu bagaimana bisa selendang itu di miliki Ayu,

Nur menceritakan semuanya,

saat menyesap kopi itu, mbah Buyut berujar “kancamu, keblubuk angkarah”

(temanmu terjebak dalam pusaran)

“trus, yok nopo mbah?” (lalu bagaimana mbah)

“siji kancamu wes ketemu, tapi sukmane gorong, tenang sek, yo” (satu temanmu sudah ketemu lagi, tapi rohnya belum, sabar ya)

tidak beberapa lama, kerumunan warga mendekat, Wahyu masuk wajahnya pucat

seorang warga membopong seseorang.

ketika Nur melihatnya, ia tidak bisa menghentikan jeritanya, manakala melihat Bima kejang-kejang layaknya seorang yang terkena epilepsi.

Wahyu, segera memeluknya, menutupi Nur agar tidak melihat Bima yang menjadi seperti itu.

Mbah buyut kemudian mengatakan, bahwa bila sukma dua orang ini sedang terjebak, namun, ada satu orang yang bukan hanya sukmanya yang hilang atau di sesatkan, melainkan raganya juga ikut disesatkan, ia adalah Widya, orang yang paling di inginkan oleh, Badarawuhi namun, ia meleset

Mbah buyut menunjukkan kawaturih, yang harusnya memiliki pasangan, benda ini di letakkan di lengan seorang penari, sebagai susuk, entah ada kejadian apa, Badarawuhi menginginkan benda ini ada pada Widya, namun, Nur yang menemukanya, kemudian mengambilnya, membuat benda ini-

kehilangan pemilik, yang maka artinya, Nur yang memiliki, tapi, Nur di lindungi, itulah alasan kenapa Nur selalu merasakan bahwa badanya terasa berat di jam-jam tertentu, mbah Dok yang melindungi Nur sudah berkelahi hampir dengan setengah penghuni hutan ini.

setelah itu, pak Prabu meminta agar Ayu dan Bima di tutup oleh kain selendang, di ikat dengan tali kain kafan, membiarkanya seolah-olah mereka sudah tidak bernyawa.

mbah Buyut, pergi ke kamar, ia akan mencari Widya, menjelma sebagai Anjing hitam dengan ilmu kebatinanya

pak Prabu menceritakan bahwa memang ada rahasia yang tidak ia katakan dan alasan kenapa ia menolak keras di adakan kegiatan ini sejak awal.

tepat di samping lereng, ada tapak tilas, tempat penduduk desa ini mengadakan pertunjukkan tari, bukan untuk manusia namun untuk jin hutan

ia mengatakan, dulu, setiap di adakan tarian itu, untuk menghindari balak (bencana) bagi desa ini, seriring berjalanya waktu, rupanya, mereka yang menari untuk desa ini, akan di tumbalkan, masalahnya, setiap penari haruslah dari perempuan muda yang masih perawan.

“tapi Ayu pak” kata Nur membantah.

“itu masalahnya” kata pak Prabu, “asumsi saya, Ayu sejak awal hanya sebagai perantara, ke Widya lewat Bima, namun, Ayu tidak memenuhi tugasnya, akibatnya, Ayu di buatkan jalan pintas, ia di beri selendang hijau itu. tau darimana selendang itu?”

selendang para penari.

pak Prabu kemudian duduk, matanya merah padam, “seharusnya saya menolak habis-habisan bila bukan karena dia adik teman saya” “selendang itu, adalah selendang yang keramat, tidak ada lelaki yang bisa menolak selendang itu saat di pakai oleh perempuan”

“nak Ayu tidak salah, nak Bima pun begitu, saya yang salah, seharusnya saya tolak kalian semua, toh anak-anak kami pun tidak ada yang tinggal disini, tempat ini, bukan untuk anak setengah matang seperti kalian”

mendengar itu, membuat Nur tidak kuasa melihat Ayu,

hari semakin petang, ketika Matahari sudah benar-benar tenggelam, terdengar orang berteriak heboh, ia meneriakkan bila Widya sudah ketemu, pun saat itu juga, Mbah Buyut keluar, wajahnya tampak kecewa, sepertinya ia tidak bisa membawa Ayu dan Bima pulang, lebih tepatnya belum

momen ketika melihat Widya, membuat Nur tidak bisa bicara apa-apa, ia berjalan dengan gaguk, seperti barusaja menghadapi peristiwa yang sangat berat, bahkan, Widya berjalan dengan mata yang kosong, ia melihat Ayu terus menerus, mencoba memahami situasi.

“Wid, tekan ndi awakmu” (Wid darimana kamu?) tanya Nur,

“onok opo iki Nur” (ada apa ini Nur) kata Widya, matanya sembab melihat Ayu dan Bima terbujur,

Nur tidak sanggup menceritakanya, Wahyu kemudian berdiri mengatakan semuanya, Widya menjerit sejadi-jadinya, semua diam.

selang beberapa saat, mbah Buyut keluar, ia memanggil Widya, menyuruhnya untuk masuk, dan entah apa yang mereka bicarakan.

Nur masih mencoba membangunkan Ayu, meski hal itu, mustahil bisa dilakukan.

ketika melihat mbah Buyut keluar, Nur, Wahyu, dan Anton yang baru tiba, ikut masuk ke dapur, ia hanya melihat Widya murung, seperti memikirkan sesuatu.

Wahyu yang sedari tadi sudah menahan diri, mengatakan bahwa Bima dan ayu sudah kelewatan sehingga mereka juga kena getahnya.

Malam itu juga, pak Prabu mengumpulkan semua anak yang tersisa, ia mengatakan, sudah menghubungi pihak kampus, pun dengan kakak Ayu, yang sedang dalam perjalanan kesini. esok, mungkin mereka tiba

mbah Buyut, menjaga rumah ini, konon, semua lelembut sudah mengepung rumah ini.

pagi itu, Nur menemui pak Prabu meminta seharusnya ia menahan diri sebelum informan ini keluar, karena sebelumnya, mbah Buyut mengatakan bisa mengembalikan Ayu dan Bima, hanya tinggal menunggu waktu. namun ucapan pak Prabu membuat Nur tidak berkutik.

“nek pancen isok, yo gak bakal akeh sing wes dadi korban, awakmu eroh patek ireng iku opo, nyoh kui korban sak durunge, nang ndi sak iki, wes gak onok” (kalau memang bisa, ya gak mungkin ada korban, kamu tahu, kenapa ada nisan dengan kain hitam, itu korban sebelum kejadian ini)

“gak nutup kemungkinan kancamu isok mbalik, tapi kemungkinane cilik, gak usah berharap, mbah Buyut asline wes mblenger, kudu urusan ambek bangsa iku” (gak menutup kemungkinan memang temanmu bisa kembali, tapi, kemungkinanya kecil, mbah Buyut sudah bosan, berurusan dengan mereka”

siang hari, rombongan orang dari kampuspun dengan beberapa wali datang, bahkan suara membentak dari mas Ilham bisa terdengar dari luar, ada tawar menawar dimana mbah Buyut menjanjikan agar Ayu dan Bima tetap disini, namun pihak keluarga menolak sampai mengancam, ini akan tersebar

akhir dari perjalanan KKN mereka selesai disini, bukan hanya pak Prabu yang terseret, pihak kampus efeknya lebih besar lagi, sampai harus menjanjikan bahwa masih ada jalan lain mengembalikan mereka.

KKN mereka, resmi di coret, tak ada hasil apapun selama pra kerja mereka.

Widya, butuh waktu lama untuk pulih setidaknya itu yang Nur dengar, sementara Nur menjelaskan kronologi kejadian pada Abah dan Umi, orang tua Bima, yang tidak henti-hentinya, mengadakan doa bersama di rumahnya, pukulan keras setiap Nur melihat air mata umi menetes.

ada kejadian menarik, dimana Nur di ceritakan oleh Umi, semalam sebelum Bima akhirnya meninggal, ia mengetuk pintu kamar, disana ia meminta maaf sama Abah dan Umi, kemudian pamit kembali ke kamar, sembari mengatakan ular-ular, dan di akhiri dengan hembusan nafas terakhirnya

namun, Nur juga diberitahu Abah, bahwa, apa yg di katakan Umi tempo hari tidak usah di pikirkan, karena Umi menceritakan tentang mimpinya, anaknya Bima masih kejang-kejang dan memang meninggal pada malam kejadian , semua itu mimpi Umi, mungkin itu cara Bima pamit dan memberitahu

Masih mau lanjut apa besok saja, sekarang yang mbak Nur saksikan saat mendampingi Ayu, ia di ajak ke Ng**i yang katanya bisa menyembuhkan beliau.

sedikit panjang dan gw jadikan 1 thread saja. gimana?

Maksudnya gw sambung sama thread ini. Biar gak usah nyari thread lagi ya. Gw mau kelarin malam ini semuanya.

Mas Ilham menghubungi Nur, beliau meminta tolong agar Nur bersedia mendampngi Ayu selama proses penyembuhan, dimana dokter sudah angkat tangan dan mendiagnosa Ayu, lumpuh total yang tidak di ketahui penyebabnya. ia di beritahu oleh temanya, bahwa Nur adalah orang yang tahu semua

malam itu, Ayu di bawa ke kabupaten Ng**i, di perjalanan, Nur selalu melihat Ayu, matanya di tutup paksa dengan kain, melihatnya kadang membuat Nur merasa Ayu sadar ada dia di sampingnya.

namun tetap saja nihil, sampailah mereka di rumah orang yang menawarkan bantuan itu

sesampai disana, Ayu di tidurkan di atas pelepah daun pisang. yang kemudian, di masukkan dalam sebuah keranda, Nur yang melihat itu, mengatakan pada mas Ilham bahwa itu perbuatan tidak benar, namun, mas Ilham menolak. mengatakan mungkin masih bisa, mas Ilham sangat frustasi.

butuh waktu lama, sampai orang yang membantu tiba tiba, bangun dan mengatakan ia tidak sanggup.

Ayu, tidak dapat di selamatkan, kecuali, di bawa keluar dari pulau jawa. namun, hal itu, juga mustahil dilakukan.

“ayu gorong wayahe mati, dadi, keadaane yo bakal koyok ngene sampe wayahe mati” (ayu belum seharusnya meninggal, jadi dia akan terjebak seperti ini sampai waktunya tiba)

“di bawa saja ke pulau K********N, saya ada saudara disana” kata mas Ilham waktu itu.

“masalahe arek iki gak oleh cidek segoro, nek cedek segoro, isok di matekno” (masalahnya, anak ini di larang mendekati laut/samudera, bila tetap nekat dia mati)

“kan isok numpak pesawat” (kan bisa naik pesawat) kata mas Ilham,

“isok pesawat gak liwat segoro?” (memang bisa pesawatnya gak usah melewati laut)

setelah darisana itu, Ayu akhirnya di pulangkan, ia ada di rumah itu kurang lebih 3 bulan, sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir juga, setelah orang tua Ayu mengatakan sudah ikhlas, termasuk mas Ilham.

keikhlasan orang tua Ayu termasuk mencabut gugatan terhadap pihak kampus, dan juga sudah tidak mau menyalahkan siapapun, Ayu di kebumikan di makam keluarga, sembari di doakan, di situ, ibunya mengaku, sering melihat Ayu meneteskan air mata, dan inilah akhir cerita mbak Nur.

Jadi gw bakal tutup Thread ini dengan pesan mbak Nur dan alasanya kenapa ia mau bercerita.

sejak awal, mbak Nur tidak begitu tertarik dengan unsur seram dalam ceritanya, ia ingin menyampaikan pesan yang terkandung di dalamnya, agar siapapun kita, tetap menjaga tata krama

ini bukan tentang, hal yang sepele, siapapun kamu, dimanapun kamu berada, sekali lagi, jaga sikap dan prilaku karena sesungguhnya sebagai tamu, selayaknya tetap bersiteguh pada warisan pendahulu kita yang mengutamakan sopan santun terhadap tuan rumah. Gw SimpleMan undur diri.