Makassar, AksaraINTimes.id – Yusuf Achmad Ghazali (4) ditemukan tak bernyawa di anak sungai Jalan Antasari, Samarinda, Kalimantan Timur, minggu 08 desember 2019. Mirisnya, kondisi tubuh balita tersebut sudah tak lengkap, kepalanya hilang, begitupula dengan beberapa organ tubuh lain seperti jantung, paru, tangan, dan beberapa bagian lainnya.
Setelah dilakukan tes DNA dan jenazah bocah tersebut bisa diidentifikasi, penelusuran polisi kemudian menemukan jika Yusuf adalah salah satu murid di PAUD Jannatul Athfaal yang berlokasi di Jalan Wahab Syahranie. Ia diketahui hilang sejak jum’at, 22 november 2019, lalu.
“Hasilnya (tes DNA. red) ditemukan identik. Jadi kami menyimpulkan bahwa jasad itu adalah Yusuf,” kata Kanit Reskrim Samarinda Ulu, Ipda Muhammad Ridwan, kepada wartawan Kompas, selasa (21/01/2020) malam kemarin.
Ridwan melanjutkan, tidak ada tanda-tanda kekerasan yang ditemukan pada tubuh jenazah Yusuf, sehingga disimpulkan jika balita malang tersebut tercebur ke parit. Sekitar dua minggu kemudian, polisi menjemput Tri Supramayanti (52) dan Marlina (26). Keduanya dianggap bertanggungjawab atas tewasnya Yusuf.
Merunut kembali ke peritiwa awal hilangnya Yusuf, diketahui jika saat itu Samarinda sedang diguyur hujan lebat. Seharusnya, balita tersebut tengah berada dalam pengawasan Yanti dan Marlina, guru pengasuh di PAUD Jannatul Athfaal yang sedang piket hari itu. Namun, karena harus ke toilet, Marlina kemudian meninggalkan Yanti sekitar lima menit. Ia menyerahkan pengawasan Yusuf dan tujuh anak lainnya pada rekannya tersebut.
Yusuf adalah yang tertua di antara anak-anak lain dalam pengawasan Yanti dan Marlina saat itu. Tujuh anak lainnya ada yang masih bayi hingga sekitar dua tahunan. Menurut Yanti kemungkinan Yusuf, yang luput dari pengawasannya saat tengah menenangkan seorang bayi, keluar lewat pintu. Setelahnya, tak ada satu pun yang tahu ke mana balita itu menghilang hingga kemudian jasadnya ditemukan lewat dua minggu kemudian.
Yanti dan Marlina pasrah saat ditetapkan sebagai tersangka. Keduanya mengakui kelalaian atas tenggung jawab sebagai pengawas saat tengah bertugas. Mereka siap mengikuti proses hukum dan akan didampingi pengacara. Guru-guru PAUD lain tempat mereka bertugas juga akan memberi dukungan.
Keduanya dikenakan pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan orang lain meninggal dan terancam hukuman di atas lima tahun penjara. Saat ini, Yanti dan Marlina masih dalam proses pemeriksaan lebih lanjut untuk memutuskan apakah mereka akan ditahan atau tidak.
Deretan Kasus Kelalaian Pengawasan Terhadap Anak yang Memprihatinkan
Selain Yanti dan Marlina, kelalaian dalam mengawasi anak-anak sebelumnya banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, kelalaian ini justru lebih banyak dilakukan oleh orangtua kandung si anak.
Kasus-kasus tersebut tidak main-main, selain terjadi di keramaian ada juga yang malah terjadi di kediaman mereka sendiri. Sepanjang 2014 hingga 2015 lalu, deretan kasus kelalaian orangtua dalam mengawasi anak berseliweran di media mainstream baik elekteronik maupun online.
Zia Alman Safaras (3), misalnya, harus meregang nyawa akibat terjatuh dari lantai empat sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya, Jawa Timur, pada minggu, 20 desember 2015, siang. Saat itu, orangtuanya tengah asyik memilih-milih sandal.
Menurut keterangan saksi, saat itu Zia tengah bermain-main dengan pegangan eskalator. Saksi kemudian mencoba meraih Zia, namun balita tersebut terlanjur terpelanting ke bawah. Ia juga sempat dilarikan ke rumah sakit, sayangnya, luka di kepalanya cukup parah sehingga tak lagi bisa tertolong.
Dua anak lainnya, Fathir (6) dan Fadel (2), meninggal di lokasi kediaman mereka sendiri. Keduanya tewas setelah tercebur ke kolam sedalam 2,5 meter milik tetangga mereka.
Saat itu, keduanya tengah asyik mengejar ayam. Fadel lebih dulu tergelincir. Panik melihat sang adik yang tercebur, Fathir berusaha menolong. Sayang, keduanya kemudian tenggelam dan tewas.
Deretan kasus di atas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kasus kelalaian orangtua dalam mengasuh anak-anak mereka. Pun, kasus semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia, di negara-negara luar juga banyak terjadi.
Ada baanyak faktor yang menyebabkan orangtua lalai dalam mengawasi anak. Salah satunya, terkadang orangtua terlalu asyik mengobrol dengan orang lain atau sibuk memainkan gawai.
Hukum Kelalaian Orangtua hingga Mengakibatkan Anak Cedera Bahkan Meninggal
Di Indonesia hukum bagi orangtua yang lalai, sehingga menyebabkan anak mereka cedera bahkan meninggal dunia, masih dihadapkan dengan dilema pemakluman dan kekeluargaan. Padahal setiap orangtua, baik kandung maupun yang berperan sebagai pengasuh dan pendidik, bertanggungjawab untuk melindungi setiap anak yang “dititipkan” pada mereka, terutama terhadap mereka yang masih butuh perhatian khusus seperti anak-anak.
Dalam artikel Kompasiana Kasus Kecelakaan Anak di Rumah, Tanggung Jawab Siapa? disebutkan, banyak orangtua tidak sadar kelalaian yang mengakibatkan kelalaian kematian ini dapat membawa seseorang diseret ke ranah hukum. Namun budaya pemakluman—seperti yang disebutkan sebelumnya—masih sangat kental di Indonesia. Hingga kasus-kasus seperti ini sering diselesaikan secara kekeluargaan saja.
Padahal di Amerika, orangtua yang karena kelalaiannya menyebabkan anak-anak cedera, cacat, atau bahkan meninggal dunia karena kecelakaan di dalam rumah akan dituntut District Attorney atau jaksa penuntut umum.
Rasio Ideal Guru PAUD dan Anak Didik
Kembali ke kasus Yusuf Achmad Ghazali yang tidak terjadi di rumah, melainkan di lingkungan PAUD. Di lingkungan inilah yang dimaksud orangtua—bukan kandung—yang berperan sebagai pengasuh dan pendidik di luar keluarga.
Seperti diketahui, PAUD atau Pendidikan Anak Usia Dini adalah masa pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar. Artinya, usia anak-anak yang tergabung dalam sebuah PAUD rata-rata di bawah enam tahun, di mana usia tersebut merupakan masa aktif mereka untuk mengetahui dan mencoba berbagai hal.
Mengutip artikel tirto.id Ngobrol dan Gawai, Pangkal Kelalaian Orangtua Saat Menjaga Anak: Anak-anak berumur di bawah lima tahun memang membutuhkan pengawasan ekstra dari orangtua karena tengah berada dalam tahap perkembangan aktif. Apalagi di ruang publik yang punya banyak risiko atau kejadian tidak terduga.
“Segala aktivitas anak di bawah usia 12 tahun perlu berada di bawah pengawasan orang dewasa,” ujar Mellissa Grace, seorang psikolog (tirto.id).
Berbicara PAUD, sebagai fasilitas yang disediakan bagi anak-anak secara umum, bisa dipastikan tidak hanya satu atau dua anak di bawah duabelas tahun yang memerlukan pengawasan. Bahkan, kadangkala PAUD menjadi pilihan alternatif bagi sebagian orangtua untuk menitipkan anak-anak mereka daripada menyewa babysitter.
Nah, bagaimana rasio ideal antara guru PAUD dan anak didiknya? Rupanya, hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 tahun 2014 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Dalam aturan tersebut dinyatakan, untuk lembaga PAUD dengan anak didik berusia hingga 2 tahun, yakni Taman Penitipan Anak (TPA), rasio guru dan anak yang harus dipenuhi adalah 1: 4. Artinya satu orang guru melayani maksimal empat orang anak didik. Sedangkan untuk PAUD dengan anak didik usia 2-4 tahun maka rasio guru dan anak maksimal 1: 8.
Permendikbud nomor 137 tahun 2014 juga menegaskan bahwa pelaksanaan program PAUD harus terintegrasi, mulai dari layanan pendidikan, pengasuhan, perlindungan, hingga kesehatan dan gizi.
Pada kasus Yusuf Achmad Ghazali, kelalaian tersebut tampak ketika Marlina meninggalkan Yanti sendirian bersama delapan anak dengan latar belakang usia beragam. Ia tidak meminta bantuan pada pihak lain untuk membantunya sementara waktu. Meski lima menit bukan waktu yang lama, namun akibatnya bisa dikatakan fatal karena menyebabkan anak kecil lepas dari pengawasan hingga kehilangan nyawa.
Namun bagaimanapun juga, sikap Yanti dan Marlina dalam mengakui kelalaiannya saat mengawasi anak-anak juga tidak bisa diabaikan. Kelalaian orangtua dalam mengawasi anak tak seharusnya diselesaikan dengan pemakluman.
Penulis: Dian Kartika