Indonesia Sambut Vladimir Putin,Ada Indikasi AS dan Barat Ancam Tinggalkan G20

Gelaran G20 pada akhir tahun ini mendadak panas imbas dari invasi Rusia ke Ukraina.

Penasehat Keamanan Nasional Presiden AS, Jake Sullivan mengatakan, tidak bisa menjadikan Rusia rekan bisnis di lembaga-lembaga internasional dan dalam komunitas internasional.

AS dan Barat memperingatkan Indonesia jika masih memberi karpet merah pada Vladimir Putin di helatan G20 nanti.

Sumber yang dikatakan terlibat dalam diskusi mengatakan kepada Reuters, AS dan Sekutunya menyadari bahwa China, India, Brasil, Afrika Selatan, Arab Saudi, atau lainnya tidak akan setuju dengan pengusiran Rusia dari G20.

Bahkan sumber menyatakan, kemungkinan negara-negara tersebut akan memveto setiap dorongan Barat untuk mengusir Rusia dari badan tersebut.

Dengan pemikiran ini, sumber mengatakan AS dan sekutunya bisa saja melewatkan pertemuan G20 di Bali.

“Ada diskusi tentang apakah pantas bagi Rusia untuk menjadi bagian dari G20,” kata dia.

“Jika Rusia tetap menjadi anggota, itu akan menjadikan organisasi tersebut kurang berguna,” kata seorang sumber senior dari G7 kelompok kekuatan ekonomi Barat yang juga merupakan bagian dari G20, kepada kantor berita tersebut.

Akan tetapi, seorang pejabat dari anggota G20 Asia mengatakan, mustahil untuk mengeluarkan Rusia dari kelompok itu, kecuali jika memutuskan untuk meninggalkan acara dirinya sendiri.

“Tidak ada prosedur untuk mencabut Rusia dari keanggotaan G20,” kata pejabat itu.

Sebelumnya, pejabat Polandia menyarankan agar Polandia mengambil jatah tempat Rusia di G20 yang akan berlangsung di Bali.

Proposal dari Polandia tersebut telah diterima dan mendapat tanggapan positif dari Departemen Perdagangan AS.

Sebelumnya, pada Rabu, 23 Maret 2022, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva mengkonfirmasi bahwa Presiden Putin berencana menghadiri KTT G20 mendatang di Bali pada bulan Oktober.

“Tidak hanya G20, banyak organisasi sekarang di Barat mencoba untuk mengusir Rusia. Organisasi Perdagangan Dunia, Organisasi Kepabeanan Dunia,” kata Lyudmila Vorobieva.

“Apa yang mereka coba lakukan sebenarnya adalah menghancurkan seluruh sistem perdagangan dan logistik yang telah dibangun dengan susah payah dalam beberapa dekade terakhir,” katanya.

Pertanyaannya adalah mengapa ada reaksi dari Barat yang benar-benar tidak proporsional.

Dikatakan Lyudmila Vorobieva, G20 bukanlah forum untuk membahas atau menyelesaikan krisis.

“Sebenarnya ini adalah forum yang bertujuan untuk memperbaiki situasi ekonomi dan memecahkan sebagian besar masalah ekonomi,” kata Lyudmila Vorobieva.

Pengelompokan G20 terdiri dari 20 anggota, termasuk 19 negara ditambah Uni Eropa, dengan kelompok yang menguasai 80 persen perdagangan dunia, dua pertiga populasi planet ini, dan hampir 90 persen produk dunia bruto.

G20 didirikan pada tahun 1999, organisasi ini dibayangkan sebagai platform utama yang mendorong koordinasi dan kerja sama di berbagai bidang, mulai dari perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan hingga stabilitas keuangan global dan utang hingga Covid.***