KELAHIRAN PERATURAN DAERAH (Perda) Kabupaten Bulukumba No. 9 Tahun 2015 Tentang Pengukuhan, Pengakuan hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang menjadi babak penting bagi eksistensi masyarakat adat Ammatoa Kajang yang terkenal dengan pakaian serba hitam atau baju le’leng sebagai pakaian sehari-hari.
Ada beberapa hal yang diatur dalam peraturan tersebut yakni mengenai kedudukan, hak, kelembagaan, wilayah adat, penanganan sengketa eksternal serta tugas dan wewenang masyarakat hukum adat Ammatoa kajang.
Perda ini juga merupakan angin segar bagi penyelesaian sengketa antara masyarakat Kajang dengan PT.Lonsum. Sengketa ini terkait wilayah adat Kajang yang masuk dalam konsesi HGU Lonsum.
Namun Perda ini belum dipahami betul baik oleh masyarakat umum maupun penyelenggara pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Seperti misalnya yang disampaikan oleh Tamrin anggota DPRD Kabupaten Bulukumba. Ia menyampaikan bahwa perda adat hanya mengatur tentang wilayah hutan adat. “Yang perda kemarin itu Perda kawasan hutan adat, bukan tanah adat. Karena kebetulan saya wakil Ketua Pansus,” jelas Tamrin.
Implikasi pemahaman seperti ini membuat masyarakat Kajang yang menggugat tanah HGU Lonsum dianggap tak memiliki landasan. Sebagaimana dituturkan Tamrin “disitu dia memperjuangkan bahwa itu tanah adat cuman yang menjadi dilematisnya kan tidak ada bukti kepemilikan.”
Sementara itu Rudy Tahas, aktifis AGRA Bulukumba menjelaskan bahwa landasan masyarakat adat adalah Perda No.9 Tahun 2015. Ia menjelaskan ada tiga wilayah yang diatur dalam perda yakni wilayah hutan adat yang diserahkan pengelolaannya dari hutan produksi terbatas menjadi hutan adat, yang kedua Rambang Seppang yakni wilayah di mana Ammatoa bermukim, dan yang ketiga Rambang Luara.
Jika kita melihat Perda No.9 tahun 2015 dalam pasal 10 ayat 1 dijelaskan bahwa wilayah adat Masyarkat Hukum Adat Ammato Kajang terdiri dari Ilalang Embayya atau Rambang Seppang dan Ipantarang Embayya atau Rambang Luara.

Lebih lanjut pada pasal 4 dijelaskan bahwa wilayah adat yang dimaksud terdapat dalam wilayah administratif Kecamatan Kajang, Kecamatan Bulukumpa, Kecamatan Ujung Loe, dan Kecamatan Herlang sebagaimana tergambar dalam peta lampiran yang tidak terpisahkan dari Perda.

Rambang luara memiliki luasan sekitar 22 ribu ha. Di dalam Rambang Luara inilah lokasi sengketa dengan PT. Lonsum, seperti dijelaskan Rudy tahas “Nah di Rambang luara ini lah HGU Lonsum berada dimana ada sekitar 2.850 ha wilayah adat rambang luara itu masuk ke dalam HGU Lonsum”.
Tahun 2023 adalah masa berakhirnya Hak Guna Usaha PT.Lonsum dan harus diperpanjang jika ingin melanjutkan kegiatan bisnisnya di Bulukumba. Namun, jika pemahaman tentang Perda No. 9 Tahun 2015 belum dipahami dengan baik oleh elit pemerintah Bulukumba maupun masyarakat umum maka bukan tidak mungkin wilayah adat Rambang Luara akan Kembali masuk dalam konsesi HGU Lonsum dan memperpanjang konflik yang telah berlangsung selama ini.