Pasca gelombang aksi demonstrasi besar-besaran yang digelar oleh mahasiswa di berbagai provinsi yang ada di Indonesia pada 23-30 September 2019 sebagai bentuk respon terhadap beberapa RUU yang tidak pro terhadap rakyat dan tuntutan pengesahan RUU P-KS, beberapa polemik dan peristiwa menyertai gelombang demonstrasi tersebut. Salah duanya adalah tindakan represif pihak keamanan terhadap sejumlah mahasiswa di berbagai wilayah utamanya di kota Makassar.
Beberapa mahasiswa harus merasakan sebuah ruangan yang tidak pernah diharapkan sebelumnya. Duka yang berujung luka. Duka dari berkabungnya negeri tercinta dengan beberapa aturan yang tidak beriorientasi pada hajat hidup orang banyak dan luka yang harus ditanggung adalah memar sekujur tubuh dari terpaan sepatu laras dan pentungan bahkan menelan korban jiwa. Ruangan-ruangan yang tak diharapkan justru menjadi nasib mereka. Rumah sakit dengan membawa luka dan rumah tahanan dengan luka pula.
Sementara di luar tirai kejadian, sorakan dan ejekan dilayangkan kepada mereka, para mahasiswa. Mulai dari keluhan gangguan lalu lintas yang berujung hinaan, tuduhan-tuduhan yang tak berdasar dari beberapa pihak. Semuanya terkemas dengan rapi di relung sanubari mahasiswa yang terluka. Tak ada kebencian untuk mereka, para tukang komentar di atas altar empuknya meskipun ujarannya kian menyayat hati tapi yang ‘sadar’lah yang akan merasakan yang sebenarnya.
Dari berita ke berita yang saling kabar-mengabarkan, berbuah redaksi menjurus pada pembentukan opini publik tunggal. Setelah beberapa kali demonstrasi digelar di depan miniatur gedung parlemen di berbagai wilayah yang berujung bentrokan yang cukup parah, beberapa korban berjatuhan baik dari mahasiswa maupun jurnalis. Di antaranya dilarikan ke rumah sakit dan adapula yang mendekam di rumah tahanan bahkan ada pula yang harus gugur di medan juang. Sementara pemicu bentrokan masih tanda tanya besar meskipun banyak yang menarik kesimpulan bahwa bentrokan dipicu dari mahasiswa yang berdemonstrasi.
Alhasil, beberapa RUU yang dinilai tidak mengakomodir kepentingan rakyat secara menyeluruh ditunda pengesahannya namun keputusan tersebut tentunya bukanlah hasil akhir. Pada dasarnya yang diinginkan bersama adalah pembatalan atau setidaknya revisi beberapa poin dalam rancangan undang-undang yang terlepas daripada kriteria ilmiah.
Terdapat beberapa fase yang setidaknya terpenuhi sebelum perancangan sebuah undang-undang diselenggarakan. Fase sosialisasi dan simulasi sebagai uji materi dan kelayakan atas rancangan UU tersebut sebelum diterapkan. Sebuah aturan lahir tidak terlepas daripada kepentingan secara bersama.
Selain itu, beberapa pasal dalam RUU adalah Eufemisme, yakni sebuah ungkapan halus sebagai pengganti ungkapan kasar. Eufemisme itu terdapat di beberapa RUU, misalnya RUU Pertanahan di beberapa pasal dan salah satunya adalah pasal 40 ayat 1 yang berbunyi, “Hak Atas Tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat”.
Kiranya beberapa wilayah terpencil yang ada di Indonesia masih banyak masyarakat yang tidak memiliki surat atau akte perihal kepemilikan tanah dengan beberapa pertimbangan. Syarat-syarat kepengurusan yang dinilai memberatkan dan juga membutuhkan biaya cukup tinggi menjadi pertimbangan tersendiri. Bagi mereka, membayar pajak atas tanah yang mereka tempati sudah menjadi syarat kepemilikannya atas tanah.
Pada pasal ini, ungkapan eufemismenya adalah “relokasi” dan disfemismenya adalah “penggusuran”. Relokasi akan menjadi sebuah dalih peralihan hak atas tanah kepada pihak yang memenuhi syarat. Tanah beserta bangunannya harus mereka relakan rata dengan tanah (digusur). Makna tersirat pada pasal ini adalah masyarakat yang tidak menginginkan penggusuran harus merelakan digusur atas dasar legitimasi hukum dalam undang-undang. Maka salah satu alasan penolakan terhadap pengesahan RUU Pertanahan adalah karena bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960.
Demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa selama beberapa hari tidak luput dari beberapa masalah, tudingan tunggang-menunggangi adalah salah satunya. Toto Rahardjo dalam akun Instagram resminya, “mengejutkan orang tua seperti saya yang sering meremehkan dan tidak memperhitungkan mereka (mahasiswa). Mungkin itu semua merupakan akumulasi ‘kemuakan’ generasi muda terhadap banyak hal yang tidak seluruhnya kita pahami—terutama oleh ulah elite politik. Sebaiknya kita tidak mudah melakukan blaming the victim kepada mereka. Siapa yang menggerakkan mereka? Jangan lupa bahwa Tuhan telah memberikan rasa, sensitifitas dan akal budi kepada Orang Muda”, tuturnya.
Sesuatu yang lebih urgent untuk disoroti bukanlah ihwal tunggang-menunggangi melainkan apakah betul RUU yang ditolak oleh mahasiswa tidak pro terhadap rakyat? Mahasiswa yang bijaksana tentu sebelum melakukan demonstrasi memiliki analisis dan data yang faktual sesuai kriteria ilmiah.
Dilansir dari Tirto.id, Jokowi melalui Menristekdikti, “Presiden mengajak mahasiswa untuk dialog dengan baik. Tidak turun ke jalan, tapi kembali ke kampus masing-masing”. Namun apakah mereka (pimpinan) memiliki itikad baik jika didatangi atau diundang dalam sebuah diskusi? Itu masih menjadi tanda tanya besar. Beberapa peristiwa cukup menjadi bukti, jangan kan pejabat parlemen yang susah ditemui, pimpinan kampus pun acap tidak hadir dalam diskusi bersama mahasiswa jika diundang.
Misalnya, ribuan massa aksi memadati depan gedung parlemen. Kehadiran mereka tidak untuk melakukan peperangan dengan aparat keamanan melainkan hendak menemui para pejabat perwakilan rakyat dan membawa aspirasi rakyat. Namun yang justru acapkali hadir adalah bentuk represif dengan dalih mengamankan provokator sementara yang sering dicap sebagai provokator adalah mereka yang kritis dan open mic. Tak ayal, tindakan bar-bar sering tak terelakkan dari kedua belah pihak. Entah siapa yang memulai, intinya mahasiswa dengan gerakan intelektual sebagai ciri khasnya (hipodermis) adalah mereka yang berjuang tanpa kekerasan.