Di Makassar, bersama 8 partai lainnya, PKS-PDIP pernah bergandengan tangan mengusung Paslon tunggal Appi-Cicu, meski hasilnya berakhir dengan kekalahan oleh Kotak Kosong.
Makassar, AksaraINTimes.id – Kampanye pagelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, telah mewarnai berbagai macam platform sosialisasi. Kegiatan ini gencar dilaksanakan mulai dari penyelenggara Pemilu KPU dan Bawaslu, hingga para Bakal Calon Kepala Daerah. Program demi program mencuat, baik itu rasional sampai yang irasional.
Deretan konstalasi politik yang cukup menarik perhatian, misalnya soal tumbangnya Paslon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (appi-Cicu) atas Kotak Kosong di Pilkada Makassar 2018 lalu, hingga ke formasi koalisi setiap partai pengusung pasangan calon.
Antara PDIP dan PKS contohnya. Dalam beberapa penyelenggaraan Pilkada ataupun Pilpres, membayangkan bersatunya PKS dan PDIP seolah-olah hal yang teralarang alias haram. Ini bukan tanpa alasan, PDIP sebagai partai nasionalis dan PKS sebagai partai agama nasionalis memiliki strategi politik dalam pengelolaan isu yang sangat berbeda jauh.
Hal itu kemudian berdampak pada sikap pasca Pilpres. Saat jagoan PDIP yang memenangkan Pilpres, PKS memilih berdiri di luar barisan pendukung pemerintah, seperti mengusung menteri dan lain sebagainya.
Dari 12 Kabupaten Kota di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang menggelar Pilkada Serentak 2020, kota Makassar memang menjadi yang paling seksi untuk dibahas. Selain secara geopolitik adalah pusat seluruh penyelenggaraan Pilkada di Sulsel, Makassar juga menawarkan konstalasi politik yang penuh intrik.
PDIP-PKS di Pilkada Makassar
Jargon ‘dalam politik tak ada kawan dan lawan’ sepertinya benar. PKS dan PDIP contohnya. Meski di tingkat nasional sering berbeda barisan, namun di Pilkada justru memiliki cerita berbeda. Pada Pilkada Serentak 2018, PDIP-PKS ternyata berkoalisi mengusung 33 Calon Kepala Daerah yang sama (Pemilihan Bupati/Wali Kota), salah satunya adalah Kota Makassar.
Di Makassar, bersama 8 partai lainnya, PKS-PDIP pernah bergandengan tangan mengusung Paslon tunggal Appi-Cicu, meski hasilnya berakhir dengan kekalahan oleh Kotak Kosong. Tepat 27 Juni 2018, jagoan PKS PDIP ini hanya mampu meraih 264.245 suara, sedangkan Kotak Kosong sebanyak 300.795 suara.
Pilkada Makassar 2018 lalu, koalisi PKS dan PDIP merupakan kali pertama dalam sejarah pagelaran Pilkada Makassar—jika dihitung dari umur kepesertaan PKS dan PDIP selama ini di Kota Makassar.
Jika melihat ke belakang, pada 2013 lalu PKS memilih mengusung Paslon Pilkada Makassar nomor urut 6, Tamsil Linrung-Das’ad Latif, sedang PDIP berdiri bersama Golkar dengan merekomendasikan Paslon nomor urut 2, Supomo Guntur-Kadir Halid. Pada Pilkada 2008, PDIP memilih mengusung paslon Ilham Arief Srirajuddin-Supomo Guntur, sedangkan PKS memilih mengawal Halim Razak-Jafar Sodding.
Peluang Koalisi PKS-PDIP di Pilkada Makassar 2020
Peluang untuk berkoalisi atapun tidak antara PKS dan PDIP, masih terbilang kabur dan susah diprediksi. Segala kemungkinan masih bisa saja terjadi. Sampai saat ini, kedua partai tersebut belum mengeluarkan rekomendasi usungan Paslon di Pilkada Makassar 2020, meski sejumlah partai telah mencatatkan nama usungan mereka.
Partai yang telah mengeluarkan rekomendasi diantaranya PAN yang mendorong eks Kadis Pendidikan Sulsel, Irman Yasin Limpo, sebagai usungan. Di tempat lain, Nasdem juga mengeluarkan rekomendasi untuk Moh Ramdhan Pomanto. Sedang Partai lain baru tahapan Fit and Proper Test, diantaranya ada PPP. Ada juga yang masih tahapan Pleno seperti Parti Golkar, dan lain-lain.
DPW PKS Sulsel mengatakan, pihaknya menjadwalkan untuk mengumumkan usungan di Pilkada Makassar pada bulan April atau Mei 2020 mendatang.
“Awal April atau akhir Mei,” ujar Ketua DPW PKS Sulsel, Anwar Faruq, kepada AksaraINTimes.id, Rabu (26/2/2020). Sementara pihak PDIP, belum memberikan komentar perihal jadwal pengumuman usungan di Pilkada Makassar.
Lalu, seperti apa pembacaan peluang potensi berkoalisinya PKS dan PDIP di Pilwakot Makassar 2020? Pakar Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, menilai bahwa peluang berkoalisinya kedua partai tersebiut kali ini terbilang kecil meski tetap belum bisa dipastikan.
“Peluang koalisi itu kecil dengan melihat konstelasi sekarang, meski kemungkinan itu terbuka. Namun perlu belajar dari pengalaman sebelumnya, koalisi terjadi prematur dan pragmatis tetapi tidak kokoh, sekalipun usungan mereka terpilih seperti Pilgub lalu (Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman. Red),” papar Firdaus Muhammad.
Dekan Fakultas Dakwah UIN Alauddin Makassar ini berpendapat, salah satu yang mendasari dari kegagalan PKS dan PDIP memenangkan jagoannya di Pilkad Makassar 2018 lalu, meski kemudian dievaluasi, adalah komitmen bersama.
“Termasuk itu, perlu evaluasi. Artinya jika berkoalisi harus didasari komitmen yang kuat,” kata Firdaus Muhammad.
Diketahui, semenjak menjadi partai peserta Pemilu, PKS telah lima kali mengikuti pesta demokrasi ini. Partai Kelahiran 20 April 1998 itu merupakan hasil perubahan dari Partai Keadilan. Sedangkan PDIP, adalah partai yang telah cukup tua dan berpengalaman dalam gejolak politik Indonesia, mulai dari Orde Baru hingga Reformasi.
Penulis: Gunawan Songki
Editor: Dian Kartika