Makassar, AksaraINTimes.id – ”Reformasi gagal total, kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik!”, coret bocah di dinding toilet sebuah kampus. Lain hari, coretan bertambah, ”Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.”
Drama coretan di toilet itu adalah hasil imajinasi Eka Kurniawan yang ia tuangkan dalam bukunya Corat Coret di Toilet. Eka nampaknya memahami betul betapa fungsionalnya toilet. Ya setidaknya menjadi bahan karya sastra. Entahlah jika Eka betul-betul sedang berak dalam toilet lantas merenung hingga membuahkan karya seimajinatif itu. Apapun itu, Eka Kurniawan akrab dengan toilet.
Namun sayangnya, tak semua penduduk Indonesia bisa menikmati fasilitas berjamban dan sedikit bermeditasi itu. Tentunya bukan sebagai bahan imajinasi, tapi sebagai tempat berak yang aman dan sehat. Hingga saat ini, jutaan penduduk Indonesia masih berak di sembarangan tempat.
Unicef dan WHO merilis laporan mengenai sanitasi di berbagai dunia pada tahun 2017 lalu, dalam laporan itu menuliskan, masih ada 9 persen rumah tangga di Indonesia yang anggota keluarganya masih berak sembarangan. Dengan total jumlah rumah tangga di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 79,61 juta, maka 9 persen berarti ada 7,16 juta rumah tangga Indonesia yang dengan kreatif mencari tempat berak selain jamban.
Jumlah yang banyak. Namun tinja yang berceceran dan bertebaran sebanyak itu tak akan nongol sana sini, tinja itu bersembunyi dalam arus kali, sungai, kebun, ataupun tanah galian ukuran 7×5 cm yang merupakan praktek purba dalam dunia per-tinja-an.
Banyak Rumah Tangga di Sulsel Masih Numpang Berak
Menurut laporan Badan Pusat Statisik (BPS) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengenai Statistik Kesejahteraan Rakyat, di Sulsel masih ada 18,47 persen rumah tangga yang tidak memiliki jamban sendiri per tahun 2018. Angka itu termasuk rumah tangga yang numpang berak di rumah tangga lain, MCK umum, dan yang tidak memiliki jamban sama sekali.
Dengan total jumlah rumah tangga di Sulsel sebanyak 1.848.028 per tahun 2010 – survey terakhir Susenas – berarti dari 18,47 persen, masih ada 341.330 rumah tangga di Sulsel yang belum tersedia jamban.
Lebih rinci lagi, dari 18,47 persen itu, sebanyak 7,26 persen rumah tangga Sulsel numpang berak di rumah tangga orang lain, 1,95 persen menggunakan MCK umum, 0,16 persen tidak menggunakan, dan 9,10 persen tidak memiliki jamban sama sekali. Jumlah yang banyak.
Sementara untuk urusan pembuangan akhir tinja, tangki septik sepatutnya mendominasi pembuangan dengan 89,96 persen, sementara primadona kedua yakni lubang tanah dengan 8,53 persen. Sungai atau danau berada diurutan ketiga dengan 1,04 persen, kebun 0,20 persen, dan sisanya dibuang di IPAL dan lainnya.
Tapi hal ini bukanlah kabar buruk. Sebab jika beradu prestasi dengan provinsi lain, penduduk Sulsel mestinya berbangga. Dikarenakan secara nasional, Sulsel berada di peringkat enam terbaik presentasi rumah tangga yang memiliki sanitasi layak. Pulau Dewata, Bali berada diperingkat pertama dengan 91,14 persen rumah sanitasi baik, dan yang terakhir yakni Provinsi Papua dengan 33,75 persen sanitasi layak.
Ancaman Penyakit Diare
Pemerintah lewat Kementrian Kesehatan (Kemenkes) dan PUPR terus memerangi perilaku berak sembarangan, mengingat ceceran tinja adalah rumah idaman serangga, terkhusus lalat, yang gemar hinggap di lingkungan manusia dan menyebabkan penyakit macam diare, kolera, demam, disentri, hepatitis, sampai malnutrisi.
“Air tanah kalau sudah terkotori tidak bisa dibersihkan. Ini efeknya nanti, dampaknya panjang untuk anak kecil kita,” ucap Basuki Hadimuljono selaku Menteri PUPR. Basuki menyebut, tinja yang nangkring tersebut berdampak mengotori air sumur yang menjadi sumber air minum bagi keluarga.
Berdasarkan laporan BPS, jumlah orang yang menderita penyakit diare di Sulsel sebanyak 192.681 kasus per tahun 2016. Sebagai perbandingan, penyakit tuberkulosis hanya tercatat sebanyak 13.031 dan penyakit malaria sebanyak 1008 penderita. Penyakit diare berada di posisi pertama penyakit di Sulsel.
Berak sembarangan juga menjadi fokus program sanitasi PBB, khususnya lagi UNICEF. Dalam laporam UNICEF menuliskan diare dan air minum tidak aman masih menjadi penyebab utama malnutrisi, sakit, dan kematian pada anak. Di Asia Selatan tiap tahunnya bahkan ada 177 ribu anak yang meninggal karena diare.
Berak sembarangan bukan primadona sih, tapi fasilitas memang belum tersedia. Pelariannya ya sungai atau lubang darurat. Semoga saja ke depan, kita tak perlu lagi melihat buku pelajaran Sekolah Dasar dengan gambar orang berak sembarangan di sungai.
Penulis: Amri N. Haruna